Lompat ke isi utama

Berita

Perempuan dan Partisipasi Politik Elektoral (Dalam Tinjauan Sejarah)

Perempuan dan Partisipasi Politik Elektoral (Dalam Tinjauan Sejarah)
Oleh: Rika Handayani* Perjuangan kaum perempuan dalam penulisan sejarah di Indonesia cenderung terpinggirkan. Padahal menurut Wulan Sondarika (2017) sejak awal abad ke-19, beberapa wanita Indonesia telah tampil dalam membela tanah air dan bangsanya, sebut saja Nyi Ageng Serang XIX, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Nyai Walidah Ahmad Dahlan dan lainnya. Menurut saya, hal ini wajar karena masyarakat kita dideterminasi budaya patriarkis. Sehingga peran kaum perempuan yang luar biasa kadang tidak terekspos publik, termasuk partisipasinya dalam politik. Berbagai persoalan politik perempuan sejatinya juga disebabkan oleh proses politik. Partai politik, pemerintah, lembaga perwakilan rakyat dan lembaga penyelenggara pemilu sangat didominasi oleh laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik terlalu mendominasi proses politik dan kebijakan publik yang dihasilkan. Padahal perempuan memiliki nilai, kepentingan kebutuhan dan aspirasi yang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini sangat penting untuk dapat terwakili dalam lembaga politik, untuk memberikan perubahan terhadap proses politik ke arah yang lebih demokratis. Sejarah mencatat kontribusi gerakan perempuan dalam wujud organisasi pergerakan pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan sangat signifikan. Diantaranya, Poetri Mardika di Jakarta (1912), Purborini (1917), Aisyiyah di Yogyakarta (1917), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jepara (1919), dan Poetri Boedi Sejati (Surabaya, 1919). Bahkan diera tahun 1950-an terdapat organisasi perempuan progresif dizamannya, yaitu Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang merupakan metamorfosa dari Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang berdiri tanggal 4 Juli 1950, di Semarang. Terkait Gerwani ini ingin sedikit saya ekspos disini, karena kadang masyarakat kita pada posisi “hitam-putih” dalam membaca sejarah tanpa melihat peranan dan kontribusinya sedikitpun. Menurut Diniah (2007) Gerwani merupakan organisasi yang modern dizamannya, mampu merancang program-program kerja guna mengembangkan dirinya dan berpartisipasi dalam politik. Program kerja pertama dan utamanya diantaranya mengenai masalah hak-hak wanita, serta kedua adalah mengenai hak-hak anak. Bahkan pada tahun 1961, Gerwani mulai menitikberatkan perjuangannya pada masalah krisis ekonomi yang terjadi dalam negeri. Bahkan Akhiriyati Sundari dalam Jurnal Perempuan (20/3/2016) menyebut Gerwani merupakan pelopor gerekana perempuan feminis-sosialis di Indonesia. Saskia E. Wierenga (1999) menegaskan dari 1954 sampai 1965, Gerwani sebenarnya tidak berpihak pada partai politik apapun. Namun karena rezim Presiden Soekarno, tahun 1965 menginstruksikan kepada ormas untuk memilih pasangan partai politik dalam kerangka Nasakom, maka Gerwani dipaksa berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Disinilah menurut saya awal dari petaka, Gerwani sebagai organisasi sayap PKI akhirnya menjadi ikut tertuduh dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965, menjadi korban stigma dan pembunuhan massal pasca tragedi 1965 serta kini distempel negara sebagai organisasi terlarang. Sedangkan pada masa rezim despotis Orde Baru (Orba) organisasi perempuan memang tidak terlalu menonjol, karena rezim orba dengan trilogi pembangunannya mengkhendaki stabilitas politik. Bahkan orba membonsai organisasi perempuan kedalam wadah PKK dan Dharma Wanita. Menurut Riyan Sumindar (2004) kedua organisasi ini tidak memberi kontribusi dalam pengambilan keputusan politis, tetapi lebih menjadi alat pelaksanaan program pemerintah yang selalu cenderung “top down.” Menjelang dan pasca jatuhnya rezim orba oleh gerakan reformasi tahun 1998, Gerakan perempuan kembali menggeliat dalam wujud organisasi-organisasi masyarkaat sipil, sebagaimana pengalaman saya yang pernah menjadi bagian kaum pergerakan di era 90-an. Pasca reformasi pun lahir komisi negara independen atau “state auxiliaries bodies” yang fokus di isu perempuan, yaitu Komnas Perempuan yang didirikan tanggal 15 Oktober 1998 berdasrkan Kepres No. 181 Tahun 1998 yang kemudian diperbaharui oleh Perpres No. 65 dan 66 Tahun 2005. Tantangan berat bagi perempuan Indonesia saat ini, diantaranya masih adanya keraguan di kalangan masyarkat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran di kancah politik. Persoalan yang dihadapi perempuan lebih disebabkan kendala nilai sosial budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga politik, kendatipun aspek kemampuan intelegensi, manajerial dan kemampuan kepemimpinan perempuan Indonesia memiliki kualitas yang memadai, misal seperti saya. Sehingga menjadi strategis jika dalam tulisan ini saya mencoba mengangkat kembali isu hak-hak politik dan partisipati politik kaum perempuan. Hak-hak Politik Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya dalam struktur pemerintahan dan hukum merupakan mandat konstitusi pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Hak-hak perempuan di bidang politik dapat ditemukan juga dalam instrumen hukum internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa yang umum, misal dalam pasal 21 DUHAM angka 1 dan 2, pasal 25 ICCPR. Sedangkan dasar hukum yang lebih tegas hak perempuan untuk berpolitik dijamin dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan, tanggal 24 Juli 1984. Sebelumnya Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani konvensi tersebut pada 29 Juli 1980 saat mengikuti Konferensi Perempuan se-Dunia ke II di Kopenhagen. Achie Sudiarti Luhulima (2006) kewajiban negara yang terkait dengan hak politik perempuan juga terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Komite ini memberikan rekomendasi bahwa negara peserta wajib:
  1. Menjamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan negaranya, prinsip-prinsip konvensi yang berkaitan dengan Pasal 7 dan 8 Konvensi Perempuan;
  2. Menjamin bahwa partai politik dan serikat buruh tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan Pasal 7 dan 8 Konvensi Perempuan;
  3. Melakukan identifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki; dan
  4. Adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan publik yang didasarkan atas pemilihan (public elected positions).
Sedangkan menurut Fathurrosi, dalam “Sejarah Perkembangan Politik Perempuan Di Indonesia (Analisis Masa Orde Lama-Reformasi dan Perspektif Al-Qur`an)” (Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. 5, No. 1, Tahun 2018) hak-hak perempuan yang diakui dan dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang politik, antara lain:
  1. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan;
  2. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentukan wakil rakyat di pemerintahan;
  3. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik negara tersebut;
  4. Hak untuk menentukan taraf kehidupan yang lebih baik dan melatih dirinya dalam menjalankan, menjaga dan membimbing keluarganya;
  5. Hak dan kewajiban dalam menjalankan perintah tuhan sebagai makhluk yang mempunyai hubungan dengan tuhan dan sesama manusia; dan
  6. Hak dan kewajiban dalam menjaga dan melindungi dirinya dari pandangan laki-laki, adat, gender, bahwa perempuan tugasnya hanya sebagai kegiatan domistik dan menjaga anakanaknya.
Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan lain dapat ditemukan dalam instrumen hukum nasional, misal dalam pasal 46 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: “sistem pemilihan umum, kepartian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.” Pergerakan politik perempuan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi. Hal ini ditandai dengan terpilihnya presiden perempuan pertama untuk Indonesia pada tahun 2001, yaitu Megawati Soekarno Putri; dan demikian juga telah ditetapkan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemlu Aggota DPR, DPD dan DPRD yang menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif (lihat pasal 65 ayat 1). Sedangkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kuota 30% keterwakilan perempuan ini di mapankan dalam bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) dalam lembaga penyelenggara pemilu ataupun dalam kesempatan menjadi kontestan elektoral (kandidat/calon legisalatif). Bahkan untuk kandidasi tersebut, kebijakan afirmatif tersebut dilengkapi dengan sistem zipper sebagimana diatur dalam Pasal 246 ayat (2) dalam UU No. 7 Tahun 2017. Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen, di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk menetapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini terpinggirkan dan juga mengubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik dan demokratis. Namun klausul tindakan afirmatif masih dianggap tidak mengikat, karena diksi afirmatif cenderung dimaknai “memperhatikan” belaka yang tidak memiliki konksekuensi hukum yang jelas bagi yang melanggarnya. Misal saja pada Lembaga penyelenggara pemilu, KPU Kota Bogor yang anggotanya seluruhnya berjenis kelamin laki-laki (all mens commissioner). Di struktur Bawaslu juga banyak ditemukan hal sama pada. Kedepan seharusnya hal ini tidak terjadi lagi sebagai bentuk konsekuensi pengakuan tindakan afirmatif. Partisipasi Politik Elektoral Partisipasi politik perempuan saat ini sangat dibutuhkan sebagai ikhtiar pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) sebagaimana dimandatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000, dalam berbagai kebijakan publik hatta menghasilkan produk hukum yang sensitif gender, selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempun di berbagai sektor kehidupan. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman prespektif gender dan sensitif gender di kalangan pengambilan kebijakan/ badan eksekutif dan lembaga legislatif agar kebijakan-kebijakan dan instrumen hukum yang berbasis pada kepentingan perempuan dapat diwujudkan. Partisipasi politik menurut Closky, seperti dikutip R. Sihite dalam “Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, suatu Tinjauan Berwawasan Gender” (2007) merupakan kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan hukum. Indonesia merupakan negara merdeka dan berdaulat serta telah berkomitmen dengan tegas memberi pengakuan yang sama bagi setiap warganya, perempuan maupun laki-laki akan berbagai hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa terkecuali. Hak-hak politik perempuan ditetapkan melalui instrumen hukum maupun dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak politik tersebut. Hak ini dibutuhkan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga-lembaga politik formal, walaupun jumlahnya kini masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini menjadi wajar, karena dunia politik diasosasikan dengan ranah politik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budaya dimana mayoritas masyarakat masih kental dengan budaya. patriarki. Budaya patriarki memperoses perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik dan penjaga moral. Sementara peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan dan pencari nafkah. Peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut, di arena politik yang sarat dengan peran pengambil kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk kepanggung politik dianggap kurang lazim atau tidak pantas, bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan. Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik disebabkan karena kendala kultural, strukrural dan anggapan-anggapan yang bias gender. Perubahan nilai ini androsentrisme sangat dibutuhkan, mengingat setiap individu mempunyai hak, kewajiban, dan peran yang sama dalam berkiprah di masyarakat sesuai dengan kemampuannya dan mendapat kesempatan yang sama tanpa membedakan jenis kelamin. Apabila dicermati pada kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik pada tahun eksekutif, yudikatif maupun legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan dan menyusun instrumen hukum, perempuan masih jauh tertinggal apabila dibadingkan dengan laki-laki. Misal pada Pemilu 2019 di Kota Bogor, hasil pemilu legislatif menunjukkan bahwa tindakan afirmatif berupa 30% keterwakilan Wanita di DPRD belum tercapai. Dari 50 anggota DPRD Kota Bogor Periode 2019-2024 terpilih yang ditetapkan oleh KPU Kota Bogor di ruang rapat paripurna Gedung DPRD Kota Bogor, Selasa (13/8/2019), hanya 11 orang berjenis kelamin perempuan. Terdiri dari 3 orang dari PKS, 3 orang dari PDIP, 1 orang dari Partai Gerindra, 1 orang dari Partai Nasdem, 2 orang dari Partai Demokrat dan 1 orang dari PKB. Deskripsi ini menunjukkan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik, seperti DPRD belum representative. Perempuan cenderung ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua di kancah perpolitikan Kota Bogor. Mungkin stereotipe gender yang dilekatkan pada perempuan misalnya tidak tegas, lamban dalam menggambil keputusan dan lemah dipadukan dengan nilai-nilai androsentrisme yang tetap membelengu hak-hak dan kebebasan perempuan maupun nilai-nilai keagamaan yang mengusung konsep patriakis, yang mempertegas bahwa perempuan tidak layak berkiprah di dunia politik. Argumentasi ini menjadikan alasan bahwa perempuan sulit menduduki jabatan strategis di lembaga politik formal dan kepemimpinan perempuan kurang mendapat pengakuan di arena politik. Oleh sebab itu, saya mengajak seluruh kaum perempuan di Indonesia dan khususnya di Kota Bogor untuk mengubah peta perpolitikan Indonesia dengan menghapus kebijkan yang bias gender serta merugikan perempuan menuju ke arah kesetaraan gender. Saat ini sudah waktunya perempuan mengoptimalkan peranannya di badan politik formal guna mengubah kebijakan yang masih didominasi kepetingan laki-laki dan buta gender (gender blind). Perempuan harus mengejar ketertinggalannya selama ini dengan bekerja ekstra, memberdayakan para kandidat yang akan duduk di lembaga politik formal dengan membekali pendidikan, kemampuan kepemimpinan dan sebagi guna mendukung kinerjanya sebagai tokoh politik. Perjuangan kedepan adalah bagaimana startegi yang harus ditempuh agar keterwakilan perempuan di parlemen dan di lembaga penyelenggara pemilu sebanyak 30% dapat menjadi kenyataan. Untuk itu perlu mendorong parpol-parpol yang ada untuk menominasikan 30% calon legislatif perempuan dan mendorong kader-kader perempuan pergerakan untuk maju di seleksi lembaga penyelenggara pemilu, seperti yang pernah saya lakukan. Erat kaitan dengan hal ini, penting meningkatkan pendidikan politik bagi perempuan pemilih sehingga mereka secara cerdas memilih waktu dan parpol yang dapat menyuarkan aspirasi mereka. Dus terakhir dari saya, impelementasi hak-hak politik dan partisipasi politik adalah “kunci.” Perempuan harus keluar rumah, bangun organisasi dan pergerakan perempuan melawan partriarki, militerisme dan kapitalisme. Merdeka, merdeka, merdeka !. _______________ *Anggota Bawaslu Kota Bogor (2018-2023)