Lompat ke isi utama

Berita

“Think Philosophically,” dalam Membuat Putusan-putusan Bawaslu

“Think Philosophically,” dalam Membuat Putusan-putusan Bawaslu
“Think Philosophically,” dalam Membuat Putusan-putusan Bawaslu Oleh:  Firman Wijaya   Pada Pemilihan serentak 2020 lalu, putusan Bawaslu kembali menarik perhatian publik in casu Putusan Bawaslu Provinsi Lampung No. 02/REG/L/TSM-PW/08.00/XII/2020, tanggal 6 Januari 2021. Putusan aquo telah mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) nomor urut 3, Eva Dwiana dan Deddy Amarullah sebagai peserta Pilwalkot Bandar Lampung tahun 2020. Terlapor, paslon nomor urut 3 terbukti melakukan pelanggaran Administrasi Pemilihan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dengan modus mengarahkan dan menyalahgunakan dana bantuan Covid-19. Putusan aquo menjadi perdebatan dan obyek eksaminasi publik, karena paslon nomor urut 03 sebelumnya telah ditetapkan KPU Kota Bandar Lampung sebagai paslon yang mendapat suara terbanyak pada Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Penghitungan Suara Tingkat Kota (15/12/2020). Paslon nomor urut 03 memperoleh 249.134 suara atau 57,3 persen dari total 1.700 TPS di 20 kecamatan. Sedangkan paslon nomor urut 01, Rycko Menoza-Johan Sulaiman mendapatkan 92.428 suara dan paslon nomor urut 02, M. Yusuf Kohar-Tulus Purnomo mendapatkan 93.280 suara. *** KPU Kota Bandar Lampung menindaklanjuti ptusan aquo dengan mendiskualifikasi paslon nomor 3, vide Surat Keputusan No. 007/HK.03.1-KPT/1871/KPU-kot/I/2021 tentang Pembatalan Paslon Peserta Pilwalkot Bandar Lampung Tahun 2020, tanggal 8 Januari 2021. Walaupun akhirnya keputusan KPU Kota Bandar Lampung ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), vide Putusan MA No. 1 P/PAP/2021, tanggal 22 Januari 2020.   Kritik publik terhadap Putusan Bawaslu Provinsi Lampung dan/atau putusan Bawaslu lainnya merupakan hal yang wajar. Ahmad Zaenal Fanani (2014;14) menyebutkan putusan hakim pengadilan saja banyak mendapat kritikan tajam dan sorotan masyarakat karena dinilai belum mencerminkan nilai-nilai keadilan, kurang menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dan lebih suka menjadi corong undang-undang. *** Namun, kritikan terhadap Bawaslu dalam casu quo menjadi tidak fair dan semakin absurd karena dominan dibangun diatas argumentatio ad hominem. Misal upaya menggeneralisir semua putusan Bawaslu, padahal rezim pemilu dengan rezim pemilihan masih terpisah. Bahkan kritik dibawa melompat jauh untuk “mengkuliti” kompetensi personalia Bawaslu (di semua tingkat hierarkisnya). Harus diakui terdapat putusan Bawaslu yang tidak memuaskan para pencari keadilan (justitia belen), atau mungkin dianggap terlalu normatif. Hal ini pun wajar, karena Bawaslu sebagai penegak hukum pemilu (sama seperti penegak hukum lain) yang cenderung menggunakan optik positivisme-Kalsenian dalam kerja-kerjanya. Ini bukan apologia, karena teori hukum murni (reine rechtlehre) dari Hans Kelsen memang mengarahkan positioning hukum pada kerangka das sollen.     *** Untuk itu kerangka berpikir filosofis (think philosophically) harus menjadi alternatif dalam mengisi “ruang” konsideran suatu putusan. Pengawas pemilu harus mampu menggali grand narrative keadilan pemilu (electoral justice) dibalik pasal-pasal UU Pemilu dan UU Pemilihan  yang sangat normatif. Karena menurut Satjipto Rahardjo (2009;9) hukum sebagai sebenar ilmu (genuine science) tidak harus dibaca sesuai yang dikonstruksikan. Tulisan ini mencoba mereposisi filsafat hukum dalam diskursus “ruang” baru kerangka berpikir dalam membuat suatu putusan, namun tidak menabrak ketentuan hukum yang berlaku. Namun tulisan ini membatasi pada diskursus kewenangan Bawaslu dalam memutus dugaan pelanggaran administratif pemilu dan sengketa proses pemilu dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). *** Kewenangan Bawaslu memutus UU Pemilu memberikan kewenangan kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk memutus pelanggaran administratif pemilu dan penyelesaian sengketa proses pemilu (vide pasal 461 jo. pasal 468 UU Pemilu). Sehingga produk dari kompetensi absolut Bawaslu aquo berupa “putusan.” Di pasal-pasal UU Pemilu sebelumnya juga disebutkan, Bawaslu dalam melakukan penindakan pelanggaran pemilu bertugas memutus pelanggaran administratif pemilu dan dalam penindakan sengketa proses pemilu bertugas memutus penyelesaian sengketa proses pemilu (vide pasal 94 ayat (2) huruf d jo. pasal 94 ayat (3) huruf e UU Pemilu). *** Selain tugasnya itu, disebutkan juga wewenang Bawaslu diantaranya: (a) memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administrasi; (b) memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang; serta (c) menerima, memeriksa, memediasi, atau mengadjudikasi dan memutus penyelesaian sengketa proses (vide pasal 95 huruf b, huruf c, dan huruf d UU Pemilu). Tugas dan wewenang Bawaslu sebagaimana disebutkan diatas juga diberikan kepada Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota (vide pasal 98 ayat (2) huruf d, pasal 98 ayat (3) huruf e, pasal 99 huruf a dan huruf c jo. pasal 102 ayat (2) huruf d, pasal 102 ayat (3) huruf e, pasal 103 huruf a dan huruf c UU Pemilu). *** Eksekusi putusan dari kompetensi absolut Bawaslu diatas, secara teknis berbeda. Eksekusi pelanggaran administrasi walaupun bersifat wajib (vide pasal 462 UU pemilu), namun secara praktik tergantung pada itikad baik (good faith) dari KPU. Sedangkan putusan penyelesaian sengketa proses pemilu lebih progresif, karena dapat dieksekusi langsung oleh Bawaslu. Sehingga kewenangan ini disebut Yulianto (2019;ix) sebagai kewenangan mahkota yang dimiliki Bawaslu. Terhadap Keputusan KPU yang menindaklanjuti putusan Bawaslu berupa sanksi administratif pembatalan (vide pasal 463 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemilu) masih terbuka untuk dilakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (vide pasal 463 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7)  UU Pemilu). Dimana putusan MA ini bersifat final dan mengikat (vide pasal 463 ayat (8) UU Pemilu). *** Sedangkan putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali yang diatur dalam pasal 469 ayat (1) UU Pemilu. Putusan Bawaslu terhadap sengketa proses yang dikecualikan tersebut jika tidak diterima oleh para pihak, maka dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan tata usaha negara (vide 469 ayat (2) jo. pasal 470 dan pasal 471 UU Pemilu). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian pelanggaran administratif pemilu diatur dengan Perbawaslu No. 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu. Sedangkan penyelesaian sengketa proses pemilu diatur dengan Perbawaslu No. 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (sebagaimana terakhir dirubah dengan Perbawaslu No. 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Perbawaslu No. 18 Tahun 2017). *** Berfilsafat Dalam Memutus Surajiyo (2004;13) menyebutkan setidaknya ada 3 (tiga) karakter utama dalam berpikir filosofis, diantaranya menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Maksudnya, “menyeluruh” berarti berpikir filosofis itu komprehensif dan luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandangan tertentu. “Mendasar” berarti berpikir filosofis itu harus mendalam sampai kepada hasil yang fundamental. Sedangkan “spekulatif” berarti berpikir filosofis hasilnya didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Memang berpikir filosopis tidak hanya tiga itu saja, masih ada karakter lain seperti kritis, analitis, sistematis, konseptual dan lainnya. Akan tetapi, mainstream literatur filsafat menyebutkan tiga karakteristik diatas merupakan karakteristik utama dan mewakili karakter lain dalam berpikir filosopis. Sehingga, seseorang pengawas pemilu yang bertugas sebagai majelis pemeriksa suatu perkara di Bawaslu diangap telah berfilsafat jika tiga karakter utama diatas tercermin dalam raison d’etre putusannya. *** Putusan majelis pemeriksa merupakan produk quasi yudisial yang dimiliki Bawaslu dalam rangka electoral law enforcement. Untuk itu, setiap putusan Bawaslu harus mempertimbangkan aspek yang bersifat filosofis, disamping aspek yuridis dan aspek sosiologis. Dus keadilan pemilu yang menjadi cita dari Bawaslu akan berbanding lurus dengan keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan moral (moral justice). Untuk itu suatu putusan Bawaslu seharusnya memuat idee des recht, yang meliputi keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit). Dimana menurut Sudikno Mertokusumo (2012;8), makna dari “kepastian hukum” terletak pada pasal-pasal perundang-undangan. Makna “kemanfaatan” terletak pada tujuan pasal-pasal tersebut dibuat atau akibat hukum dari suatu putusan yang diputus. Dan makna “keadilan” terletak pada nilai-nilai kehidupan yang ada (living law). *** Carl Joachim Friedrich (2004;234) menyebutkan mahkota hukum dalam teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny adalah keadilan. Aristoteles dalam “nicomachean ethics” dan John Rawl dalam “a theory of justice”, juga selalu menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan, keadilan harus di nomor satukan, dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia Dalam memutus suatu perkara, pengawas pemilu harus sensitif terhadap nilai keadilan. Majelis pemeriksa harus dapat menalar dibalik pasal-pasal UU Pemilu yang normatif. Setidaknya, ada kerangka filsafat hukum yang melatari inti konsideran putusannya. Sehingga majelis pemeriksa dalam proses berpikir merancang putusan, tidak ansich membaca pasal-pasar yang normatif dan tekstual. *** Kebiasaan menganalisis segala sesuatu seperti yang diajarkan dalam metode berfilsafat, akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan, sehingga mampu meraih kualitas, keunggulan dan kebahagiaan hidup. Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas berpikir secara mandiri, mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain masih mampu mengakui harkat martabat orang lain, mengakui keberagaman dan keunggulan orang lain. *** Jika setiap putusan-putusan Bawaslu melalui proses berpikir filosopis, maka pengawas pemilu yang bertugas sebagai majelis pemeriksa tersebut layak disebut eorang filsuf hukum. Sang filsuf yang tidak berdialektika dengan teori-teori filsafat ansich, akan tetapi juga mengamalkan teori-teori tersebut dalam ranah hukum praktis. Berbeda dengan filsuf hukum lainnya yang hanya bergelut di wilayah teori dan tidak pernah dipraktek. Itulah kelebihan pengawas pemilu yang bertugas sebagai majelis pemeriksa, dibanding filsuf-filsuf hukum lainnya. Seandainya benar (quad non) pengawas pemilu sudah menjadi filsuf, maka dia akan menjadi pendobrak kejumudan, berani melakukan terobosan penemuan dan pembaruan hukum dalam memutus dugaan pelanggaran administratif pemilu dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Wallahualam bissawab. *** *Anggota Bawaslu Kota Bogor (2018-2023), menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada Program Ilmu Hukum FH Univ. ibn Khaldun Bogor (2001-2006), PK Profesi Advokat Peradi pada FH Univ. Pakuan Bogor (2009), Sertifikasi Profesi Mediator pada IMN (2020) dan saat ini sedang menempuh pendidikan Srata 2 pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Univ. Pakuan Bogor (2019). Pengalaman kepemiluannya dimulai dari Relawan Pemantau Pemilu pada Forum Rektor pada Pemilu tahun 2004, Anggota KPPS di TPS RW 04 Kelurahan Gudang pada Pilgub Prov. Jawa Barat tahun 2013, Anggota PPK Bogor Tengah pada Pilwakot Kota Bogor tahun 2018. Pernah tercatat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Bogor (2006-2007), Korlap Lingkar Studi dan Aksi untuk Demokrasi (2008-2009), Ketua Harian Yayasan LKBH Indonesia (2013-2016), Wakil Ketua DPD KNPI Kota Bogor (2014-2017), Wakil Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Kota Bogor (2016-2018), dan co. founder Kantor Hukum “RSW & Co., Rehalat, Sinaga, and Wijaya I Attorney & Counsellor at Law (2017).