Lompat ke isi utama

Berita

Pemilu 2024; Obsesi Pemilu Demokratis dan “Endgame” Transisi Demokrasi

Pemilu 2024; Obsesi Pemilu Demokratis dan “Endgame” Transisi Demokrasi
Pemilu 2024; Obsesi Pemilu Demokratis dan “Endgame” Transisi Demokrasi Oleh:  Firman Wijaya* *** O’Donnel dan Schimitter (1986) seperti dikutip Al Rafni (dalam “Transisi Menuju Demokrasi di Indonesia,” Jurnal Demokrasi, Vo. 1, No. 1, Th. 2002, hal. 12) menyebutkan transisi merupakan tahapan awal yang sangat menentukan dalam proses demokratisasi, disamping tiga tahapan lainnya yaitu liberalisasi, instalasi dan konsolidasi demokrasi. Fase transisi adalah titik awal atau interval antara rezim otoritarian dan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Masa selanjutnya masuk ke dalam fase konsolidasi demokrasi (Larry Diamond:1999;65-73). Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas pada kegiatan “Jakarta Geopolitical Forum,” di Jakarta seperti dilansir Kantor Berita Antara (19/5/2017), mengatakan hingga saat ini bangsa Indonesia masih dalam proses transisi demokrasi. Masih banyak elemen yang mencari penyelesaian masalah di luar prinsip dan konsep sebuah negara demokrasi. *** Indonesia yang memilih jalan transisi dari rezim post-otoritarianism orde baru melalui Pemilu 1999 memang belum berhasil keluar dari fase transisi demokrasi. Bahkan Azyumardi Azra (dalam “Demokrasi Mau ke Mana?,” Kompas, 12/12/2019) menyebutkan era reformasi telah dua dasawarsa berlalu. Namun kian banyak kalangan yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi negara ini. Menurut Laporan The Economist Intellegence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3, atau skornya menurun dari sebelumnya 6.48. Memang tidak semua negara yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter berhasil keluar dari masa transisi dan mencapai konsolidasi demokrasi. Misalnya Angola, masa transisi berakhir dengan meledaknya perang saudara dan kemudian mengembalikan kelangsungan rezim otoriter (Haramain dan Nurhuda:2000;20). Peter Worsley dalam “The Third World” (1983) menyebut gejala itu sebagai “siklus otoritarianisme.” Menurutnya rekonsolidasi otoritarianisme itu merupakan gejala khas negara-negara dunia ketiga. Mungkin inilah kenapa Samuel P. Huntington (1995;211) pernah menyatakan bahwa perubahan melalui reformasi jauh lebih sulit dairpada revolusi. *** Parameter Pemilu Demokratis Pemilu merupakan bagian integral dalam negara demokratis, sebuah conditio sine qua non karena tanpa hadirnya maka negara dianggap menanggalkan demokrasi. Samuel P. Huntington (1997;5-6) pun menegaskan suatu sistem politik sudah dapat dikatakan demokratis jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui Pemilu yang adil, jujur, dan berkala. Namun sebaliknya, tidak berarti jika terdapat sebuah Pemilu maka negara tersebut sudah pasti merupakan negara demokratis (Carothers:2002;5-21). Karena selama rezim orde baru berkuasa pun, Pemilu dapat dilaksanakan secara berkala (Pemilu 1971-1997). Namun menurut Topo Santoso dan Ida Budhiwati (2019;1) Pemilu selama periode orde baru dianggap tidak dapat dijadikan ukuran Pemilu yang demokratis. Bahkan R. William Liddle (1994;34) pernah menyebutkan pemilu-pemilu orde baru adalah pengukur tidak sempurna sebagai kehendak politik rakyat. Pemilihan-pemilihan itu mencerminkan proses elektoral yang dikelola dan dikontrol sangat ketat sebagai hasil rancangan pemerintah -yang kekuasaannya terutama berasal dari dukungan Angkatan Bersenjata- untuk memperlihatkan keabsahannya kepada rakyat dan dunia luar sementara pada saat bersamaan menghindari sejauh mungkin pertarungan nyata antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing. Pemilu-pemilu pasca reformasi, yaitu Pemilu tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 memang terselenggara jauh lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu-pemilu di era rezim orde baru, walaupun secara hasil (output) dari demokrasi elektoral tersebut belum bisa mempercepat transisi demokrasi. *** Pemilu yang demokratis merupakan sebuah keniscayaan, untuk itu dibutuhkan standar atau parameter untuk mengukur suatu Pemilu tersebut. A. Malik Haramain dan MF. Nurhuda Y. (2000;109-111) menyebutkan ada beberapa standar yang harus menjadi acuan agar Pemilu benar-benar menjadi parameter demokrasi. Pertama, pelaksanaan Pemilu harus memberikan peluang sepenuhnya kepada semua parpol untuk bersaing secara bebas, jujur dan adil. Kedua, pelaksanaan Pemilu betul-betul dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil-wakil tersebut mencerminkan kehendak rakyat. Ketiga, pelaksanaan Pemilu harus melibatkan semua warga negara tanpa diskriminasi sedikitpun. Keempat, Pemilu dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung asas kebebasan dan kejujuran. Kelima, pelaksanaan Pemilu khendaknya mempertimbangkan instrumen dan penyelenggaranya, karena sangat mungkin adanya kepentingan penyelenggara (lembaga) sehingga dapat mengganggu kemurnian Pemilu. Dan keenam, pada persoalan yang lebih filosopis, Pemilu khendaknya lebih ditekankan pada manifestasi hak masyarakat.  *** “Endgame” Transisi Demokrasi Maswadi Rauf (dalam Kompas, 15/05/2017) menyebutkan ada 4 (empat) hal yang menjadi kendala demokratisasi di Indonesia. Pertama, kecenderungan masyarakat memakai kekerasan. Kedua, politik uang. Ketiga, politik kekerabatan. Dan keempat, adanya anggapan demokrasi tidak membawa kesejahtreraan, hal ini yang menurutnya memicu sikap antidemokrasi. Jika dikaitkan dengan Pemilu, maka jalan keluar dari persoalan ini adalah Pemilu harus benar-benar dilaksanakan secara “luber dan jurdil” (vide pasal 2 UU No. 7/2017). Disinilah peran Bawaslu sebagai pengawas Pemilu menjadi sangat penting, sehingga kendala-kendala demokrasi tersebut dapat ditanggulangi secara demokratis. Bawaslu sebagai lembaga negara independen yang lahir dari rahim demokrasi memang memiliki kewajiban untuk mewujudkan harapan reformasi, seperti tercantum dalam “Mars Pengawas Pemilu.” Terkonsolidasinya demokrasi merupakan salah satu harapan dari reformasi, dan Pemilu merupakan instrumen demokratis untuk mencapainya. *** Pemilu 2024 menurut penulis menjadi strategis, bukan karena Pilkada juga diselenggarakan ditahun yang sama. Tapi Pemilu 2024 bisa menjadi momentum politik untuk mengakhiri (endgame) fase transisi menuju konsolidasi demokrasi. Dus penyelenggaraan Pemilu 2024 harus benar-benar luber dan jurdil serta memenuhi parameter demokratis. Pemilu 2024 memang masih cukup lama, tapi tahapan penyelenggaraan Pemilu sesuai Pasal 167 ayat (6) UU No.7/2017 dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Sehingga, jika KPU mengusulkan pemungutan suara Pemilu 2024 tanggal 21 Februari 2024, maka persiapan tahapan Pemilu 2024 harus dimulai sekitar bulan Juli 2022. Secara regulatif dan teknis, penyelenggara Pemilu saat ini memang memiliki pengalaman pada Pemilu 2019. Meskipun demikian menurut Fritz Edward Siregar, Anggota Bawaslu RI (dalam https://rumahpemilu.org, 17/06/ 2021) tetap saja dibutuhkan perbaikan untuk hal-hal yang selama ini dianggap kurang. Misalnya ketentuan-ketentuan dalam PKPU dan Perbawaslu perlu dimatangkan serta disesuaikan dengan perkembangan zaman. *** Bawaslu kini, menurut Fritz mulai memetakan beberapa tantangan Pemilu 2024, diantaranya persoalan sumber daya, logistik, pendaftaran dan verifikasi partai politik, serta potensi sengketa pemilu. Terkait dengan potensi sengketa pemilu, Fritz juga menyoroti persoalan pemutakhiran data pemilih. Menurutnya semua warga negara yang sudah memiliki hak pilih diharapkan tidak kehilangan hak hanya karena tidak tercantum dalam daftar pemilih dan tak memiliki KTP-elektronik. Karena itu, pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan proses perekaman sekaligus distribusi KTP-elektronik. Obsesi pemilu yang demokratis menurut penulis dapat terwujud pada Pemilu 2024 dan menjadi akhir (endgame) fase transisi demokrasi. Namun untuk mewujudkannya memerlukan political will dan kerja keras dari semua stakeholder terkait Pemilu, baik dari unsur Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP). Untuk itu, bagi Bawaslu peningkatan kualitas pengawasan Pemilu menjadi fardhu’ain secara struktural-hirarkis. Pengawasan yang berkualitas akan mampu menekan berbagai bentuk kecurangan dan juga linear dengan kualitas suatu Pemilu. Selain itu, pelibatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan merupakan keniscayaan dalam kerja-kerja pengawasan Bawaslu.   Sehingga keberadaan kader-kader pengawas partisipatif yang sudah diberi pelatihan oleh Bawaslu menjadi strategis. Kehadiran mereka dimasyarakat setidaknya dapat memberikan tambahan energi pengawasan Pemilu, misalnya meningkatkan keberanian masyarakat untuk melaporkan setiap dugaan pelanggaran Pemilu, baik pelanggaran administratif, pidana, kode etik penyelenggara Pemilu dan lainnya.  Wallahu’alam bis shawab. [ ]   *Anggota Badan Pengwas Pemilu Kota Bogor (2018-2023)