Nalar Hukum “Omnibus Law”, Mau Kemana ?
|
Bogor - Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) kali pertama menyampaikan gagasan omnibus law dalam pidato pertamanya pasca dilantik sebagai Presiden periode 2019-2024, tanggal 20 Oktober 2019. Pemerintah mengakui saat ini terjadi tumpang tindih dan disharmoni regulasi, khususnya menyoal investasi. Firman Freaddy Busroh (2017;227) membenarkan bahwa salah satu faktor yang menghambat peningkatan iklim investasi di Indonesia salah satunya disebabkan karena permasalahan regulasi. Untuk itu Presiden Jokowi menyebut omnibus lawakan menyederhanakan kendala regulasi yang dianggap tumpang tindih, berbelit dan panjang tersebut. Salah satu tujuan deregulasi melalui omnibus law yang digagas pemerintah seperti ditegaskan oleh Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil salah satunya untuk memudahkan investor menanamkan modal di Indonesia.
***
Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD., (dalam Kompas, 31/1) menyebutkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja yang diserahkan ke DPR berisi rangkuman 2.517 pasal yang saling berbenturan di dalam 83 Undang-undang (UU). Pasal yang saling berbenturan tersebut akan diharmoninasi menjadi sekitar 174 pasal dalam omnibus law. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, Pemerintah akan mengajukan empat RUU Omnibus Law atau membagi rencana omnibus law kedalam empat klaster. RUU Omnisbus Law tersebut diantaranya, RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (yang akhirnya berubah menjadi RUU Cipta Kerja) dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
***
Kritik keras terhadap pemerintah dalam melakukan deregulasi melalui omnibus law datang dari banyak kelompok masyarakat sipil (civil society) maupun kalangan akdemisi. Hal ini wajar, masyarakat sipil menjadi curiga karena untuk mengakses seluruh Naskah Akademik (NA) atau draf RUU Omnibus Law sangat sulit. “Muhammadiyah Minta Pembahasan Omnibus Law Distop,” begitu bunyi judul berita dalam http://wartaekonomi.co.id (29/1), dimana Ketua Muhammadiyah, Busyro Muqoddas dalam konferensi pers pernyataan sikap Muhammadiyah dan masyarakat sipil di Jakarta (28/1) khawatir adanya pasal “selundupan.” Untuk itu Muhammadiyah mendorong agar pemerintah terbuka dengan RUU Omnibus Law, khususnya soal NA RUU Cipta Kerja. Kekhawatiran publik ini menjadi berdasar, karena aksesi publik terhadap RUU aquo cenderung sulit diawal wacana ini dilempar ke publik dan menjadi perdebatan publik, walaupun sekarang .
***
Selain Muhammadiyah, Perempuan Mahardika (dalam Kompas, 19/1) menilai RUU Omnibus Lawtidak berpihak pada perempuan. Kemudian Jaringan Advokasi Tambang (masih dalam Kompas 19/1) juga menilai RUU Omnibus Law bisa berdampak buruk terhadap lingkungan hidup. Sedangkan LBH Jakarta (dalam Kompas, 20/1) menyebut RUU Omnibus Law hanya untuk kepentingan oligarki. Penolakan keras juga ditunjukkan oleh beberapa elemen serikat yang melakukan aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta (20/1). Massa aksi serikat pekerja menilai RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) itu berpotensi tidak ramah terhadap pekerja. Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) juga memprediksi pemutusan hubungan kerja (PHK) masal akan terjadi apabila RUU Omnibus Law disahkan. Bahkan menurut empat puluh kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), RUU Cilaka hanya alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. FRI menyebutkan pada akhir abad ke-19 dibawah tekanan globalisasi dan perjanjian internasional, pemerintah kolonial Hindia Belanda juga pernah menerbitkan koeli ordonantie.
***
Terlepas dari setuju atau tidak terhadap substansi hukum (legal substance) atau muatan materi hukum dari omnibus law, faktanya bahwa aksesibilitas publik terhadap RUU Omnibus Law lebih sulit dibandingkan dengan RUU-RUU lain. Bahkan lebih sulit dibandingkan aksesi publik terhadap draf RUU Perubahan Kedua atas UU KPK yang akhirnya diundangkan tanggal l7 Oktober 2O19 dan kini menjadi UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2OO2 tentang KPK. Perdebatan publik mungkin akan terus berlanjut terhadap wacana omnibus law ini. Maka wacana ini akan menarik jika dikaji dan didiskusikan dalam tinjauan ilmu hukum, khususnya dengan pendekatan teori hukum, teknis pembentukan peraturan perundang-undangan dan tinjauan karakter/tipe hukum dari produk hukum yang akan dilahirkan dari omnibus law. Dus kita bisa menalar secara akademis produk hukum omninibus law yang menjadi narasi besar Pemerintah tersebut.
***
Beberapa kalangan akademisi hukum memang masih memperdebatkan konsep omnibus law, jika diterapkan dikhawatirkan akan mengganggu sistem ketatanegaraan Indonesia. Kekhawatiran disebabkan sistem hukum yang dianut di Indonesia yang dominan adalah civil law, sedangkan konsep omnibus law atau yang dikenal dengan omnibus bill ini berasal dari sistem hukum common law. Konsep omnibus law termasuk hal yang baru di Indonesia walaupun negara-negara lain telah menerapkan seperti Amerika Serikat (The Omnibus Act of June 1868, The Omnibus Act of February 22, 1889), Kanada (Criminal Law Amandment Act, 1968-69), Philipina (Tobacco Regulation Act of 2003) dan 39 negara lain yang mengadopsi omnibus law dalam hal perlindungan data personal yang dirilis Privacy Exchange.org (a global information resource on consumers, commerce, and data protection worldwide national omnibus laws), seperti Argentina, Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Malta, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Rusia, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Taiwan, Thailand, dan Inggris.
***
Secara etimologis, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Sedangkan dalam Black Law Dictionary, Ninth Edition dari Bryan A. Garner (2004) menyebutkan, omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; inculding many thing or having varius purposes. Jika disandingkan dengan kata law, maka dapat didefinisikan sebagai “hukum untuk semua”. Di dalam hierarki sebagaimana diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut “UU No. 12/2011”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, konsep omnibus law belum dimasukan sebagai salah satu asas dalam sumber hukum. Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem civil law menjadi salah satu penyebab belum dikenalnya konsep omnibus law. Walaupun Pemerintah menilai harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia harus terus dilakukan untuk meminimalkan konflik peraturan perundang-undangan.
***
Konsep penyederhanaan regulasi melalui omnibus law dilakukan dengan mencabut beberapa regulasi dan menyusunnya kembali dalam satu Undang-undang (UU) secara menyeluruh, komprehensif, dan sederhana. Dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, dimungkinkan perubahan substansi dan pencabutan UU oleh UU baru. Namun, pembaruan dan pencabutan UU secara terintegrasi sebagaimana konsep omnibus law belum pernah dilakukan di Indonesia. Jimly Asshiddiqie (2019;12) menyebutkan bahwa konsep omnibus law dapat dilakukan melalui kodifikasi hukum, baik terhadap UU maupun berbagai peraturan pelaksana di tingkat pusat, sehingga untuk suatu bidang hukum dapat dibukukan dalam satu naskah yang terpadu. Selanjutnya Kusnu Goesniadhie (2010;11) menyebutkan untuk mewujudkan harmonisasi atau penyederhanaan peraturan perundang-undangan ada beberapa langkah-langkah antara lain:
- Perlunya melakukan identifikasi dan analisis masalah disharmoni hukum serta mencari penyebab/akar masalahnya.
- Melakukan upaya penemuan hukum melalui metode hukum melalui interpretasi hukum untuk membangun konstruksi hukum.
- Melakukan penalaran hukum terhadap hasil interpretasi dan konstruksi hukum yang telah dibangun agar memenuhi unsur logika.
- Menyusun argumentasi hukum yang rasional, terstruktur, terukur dan jelas diiringi dengan pemahamam sistem hukum yang baik sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum yang baru.
- Hukum harus berlaku untuk semua tanpa pengecualian dan sifatnya permanen. Hal ini disebut asas kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law).
- Hukum harus diumumkan dan dipahami oleh semua pihak. Keberadaan hukum bukanlah suatu rahasia. Sehingga semua orang tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang.
- Hukum tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif). Jika hukum berlaku surut maka akan memberikan rasa tidak nyaman dan ketidakpastian hukum. Hal ini selaras dengan asas legalitas.
- Hukum harus jelas, tidak ambigu dan multitafsir. Hukum yang kabur akan menciptakan kekhawatiran bagi pihak-pihak tertentu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Hal ini akan menghambat jalannya hukum.
- Hukum tidak boleh ada pertentangan antara satu sama lainnya. Hukum harus selaras satu sama lain yang kemudian menciptakan sistem hukum yang baik.
- Hukum tidak boleh berlebihan dan melebihi kemampuan serta kapasitas pihak tertentu. Dengan demikian hukum tidak menjadi beban bagi pihak tertentu.
- Hukum harus statis, tidak mudah berubah-ubah dan berlaku untuk jangka panjang. Proses pembentukan hukum sudah harus bisa menjangkau kebutuhan hukum yang berlaku dan masa akan datang.
- Hukum harus bisa diterapkan dan dilaksanakan masyarakat. Dengan demikian masyarakat menerima hukum dengan sukarela tanpa ada rasa paksaan dari penguasa.