Nalar Baru Testimonium de Auditu dan Relevansinya dengan Penegakan Hukum Pidana Pemilu
|
Nalar Baru Testimonium de Auditu dan Relevansinya dengan Penegakan Hukum Pidana Pemilu
Oleh: Firman Wijaya*
Efektifitas penegakan hukum menurut Lawrence M. Friedman (1984:5-6) tergantung pada tiga elemen sistem hukum (legal system), yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum itu menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat peraturan perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) dalam suatu masyarakat. Gustav Radbruch sebagaimana dikutip Ahmad Zaenal Fanani dalam artikel “Berpikir Falsafati dalam Putusan Hakim,” yang dimuat di Varia Peradilan No. 304, Maret 2011, halaman 3, menempatkan “keadilan hukum” sebagai tujuan hukum diatas “kemanfaatan hukum” dan “kepastian hukum”. Dus menjadi relevan jika “keadilan hukum” menjadi puncak dari pencapaian suatu penegakan hukum.
Pemilihan umum (pemilu) yang luber dan jurdil (free and fair election) meniscayakan adanya penegakan hukum. Hal itu dipertegas Didik Supriyanto dan Ramlan Surbakti (2014:35) yang menyebutkan penegakan hukum merupakan salah satu prinsip penyelenggaraan Pemilu yang berkeadilan. Konteks Pemilu 2019 di Provinsi Jawa Barat, Sutarno (2019:v) dalam Kata Pengantar Buku “Efektifitas Penegakan Pemilu (Potret Penindakan Pelanggaran Pemilu 2019 di Provinsi Jawa Barat)” menyebutkan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mencatat 17 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait tindak pidana pemilu.
Pasal 1 angka 31 jo. pasal 9 ayat (5) huruf c Perbawaslu No. 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu menyebutkan tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Pemilihan Umum. Ketentuan tindak pidana dimaksud diatur dalam ketentuan pasal 488-554 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sedangkan tata cara penanganan tindak pidana pemilu diatur pada pasal 476-486 undang-undang aquo.
Penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu secara struktur terintegrasi dengan sistem peradilan pidana secara umum. Kerangka sistem tersebut terintegrasi dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau disebut “Sentra Gakkumdu” (vide pasal 486, pasal 487 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo. Perbawaslu No. 31 Tahun 2018 tentang Sentra Gakkumdu) yang terdiri dari Pengawas Pemilu, Kepolisian, Kejaksaan. Kemudian setelah berkas penanganan dugaan pelanggaran lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri dan setelah diputus kemudian terdakwa dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan. Sehingga dalam penanganan pelanggaran dugaan tindak pidana pemilu selain berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Perbawaslu juga menggunakan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (vide pasal 477 UU No. 7 Tahun 2017).
Salah satu isu paling krusial dalam penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu adalah pemenuhan syarat materil berupa “saksi” (vide pasal 9 ayat (4) huruf c Perbawaslu No. 7 Tahun 2018). Karena saat ini pemahaman penegak hukum in casu para Pengawas Pemilu memang sudah mapan dengan nalar rezim saksi sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 65/PUU-VIII/2010, tanggal 8 Agustus 2011 telah memberikan penalaran hukum baru dengan memperluas nomenklatur saksi dalam KUHAP, yaitu mengakui saksi testimonium de auditu. Walaupun demikian, das sein tidak semua lembaga penegak hukum dan badan peradilan ketika mengadili kasus-kasus konkret mengikuti putusan aquo.
Penegakan hukum merupakan proses implementasi hukum secara empiris di masyarakat yang melibatkan kemampuan penegak hukum dalam memaknai hukum. Pemaknaan hukum terjadi saat penelaah hukum atau penegak hukum itu melakukan proses membangun argumentasi hukum atas realitas empiris yang terjadi. Dalam upaya membangun argumentasi hukum itu, seorang penegak hukum memerlukan penalaran hukum. Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indrawi manusia (berbentuk pengalaman empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan seperti itu akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, lalu berdasar sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut dengan “menalar” (Miftahul Qodri, 2019:183).
Menurut Kenneth J. Vandevelde (1996:2) penalaran hukum terdiri dari 5 langkah, yaitu: (1) mengidentifikasi sumber hukum, berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable sources of law); (2) menganalisis sumber hukum tersebut (analyze the sources of law); (3) mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheran (synthesize the applicable rules of law in to a coherent structure); (4) menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts); dan (5) menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta (apply the structure of rules to the facts).
Dari uraian tersebut penulis mengidentifikasi permasalahan, diantaranya: (1) apa nalar hukum baru testimonium de auditu pasca putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 ?; dan (2) bagaimana daya ikat putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 dalam proses penegakan hukum pidana Pemilu ?.
Nalar baru testimonium de auditu
Jimly Asshiddiqie (2006:152) menyebutkan MK memiliki kewenangan the sole interpreter, pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung HAM dan menangani perkara impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya Mahfud MD (2009:7) menyebutkan MK juga mengemban tugas mulia untuk menjaga agar semua produk hukum di negara ini tidak bertentangan dengan konstitusi, apalagi melanggar konstitusi. Sebagai lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi (constitutional court), Bintari (2013:84) menyebutkan MK telah menghasilkan cukup banyak putusan yang berguna dan penting untuk tegaknya konstitusi.
Putusan MK yang monumental diantaranya putusan No. 65/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo. pasal 65 jo. pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) jo. pasal 184 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, selaku Pemohon. Jika kita mencermati, konklusi dari amar putusan aquo adalah majelis hakim konstitusi dengan jelas memperluas makna saksi yang diatur di dalam KUHAP.
Definisi saksi menurut pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi dalam sistem peradilan pidana dipandang secara fungsional sebagai alat bukti yang sah (vide pasal 1 angka 27 KUHAP). Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian dalam KUHAP yang masih menganut sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Pentingnya keterangan saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana.
Yahya Harahap (2008:287) menyebutkan keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ismujoko (1997:1) bahwa keterangan saksi yang tidak memenuhi unsur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP tersebut tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, keterangan saksi seperti itu disebut testimonium de auditu.
Nalar hukum terhadap definisi saksi berdasar KUHAP dan doktrin hukum diatas menjadi bergeser ketika MK melalui putusan No. 65/PUU-VIII/2010 memperluas makna saksi dalam KUHAP dengan diakuinya saksi testimonium de auditu dalam peradilan pidana. MK berpendapat, pengertian saksi yang selaras dengan original intent UUD 1945 adalah saksi dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. MK berpendapat arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Dus menjadi kewajiban penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim untuk memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka.
Putusan aquo merupakan nalar baru dalam rezim hukum pidana formal dan cerminan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan/atau terdakwa serta prinsip utama dalam hukum acara pidana yang dijamin pemenuhannya dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945, pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan asas perlakuan yang sama di muka hukum (equality before the law). Mengingat pentingnya putusan aquo seharusnya (das sollen) penyidik, jaksa dan hakim wajib melaksanakan due process of law dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip HAM, mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum karena pada akhirnya penyelenggaraan peradilan adalah untuk menemukan keadilan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Final, mengikat dan erga omnes
MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Putusan MK memiliki sifat yang unik, karena putusannya bersifat final dan mengikat, serta erga omnes. Putusan bersifat final dan mengikat menurut penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK (sebagaimana terakhir dirubah dengan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK), dijelaskan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Putusan yang bersifat erga omnes berarti putusan MK mempunyai kekuatan mengikat yang berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa (Fadel, 2012:19). Sedangkan menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jadi ketika peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan UUD atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang (Aziz, 2010: 132-133).
Selain sifatnya tersebut, Steven Suprantio (2014:45) menyebutkan jenis putusan MK dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) Putusan MK yang membatalkan norma; dan (2) Putusan MK yang memberikan penafsiran pada undang-undang sesuai dengan original intent UUD 1945. UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, memang tidak memberikan penjelasan DPR dan Presiden diberikan perintah untuk menindaklanjuti putusan MK. Selain itu tidak ada kriteria atau ukuran yang dapat digunakan bagi lembaga-lembaga tinggi negara tersebut untuk menindaklanjuti putusan MK, juga tidak diberikan penjelasan seperti apa yang dimaksud dengan tindak lanjut atas putusan MK.
Pasal 59 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, hanya menyebutkan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung,” dan di bagian penjelasan pasal aquo hanya disebutkan “cukup jelas”
Sehingga secara nalar, praktik tindak lanjut atas putusan MK hanya diperlukan sepanjang terjadi peristiwa recht vacuum, sedangkan untuk putusan MK yang bentuknya memberikan penafsiran pada undang-undang sesuai dengan original intent UUD 1945, DPR atau Presiden diberikan kebebasan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti putusan MK. Namun secara hukum, apabila DPR atau Presiden tidak menindaklanjuti suatu putusan MK, berarti secara serta merta putusan tersebut menjadi hukum yang bersifat erga omnes.
Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yang telah memberikan tafsiran pasal 1 angka 26 dan angka 27, pasal 65, pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP sesuai dengan original intent UUD 1945, semenjak diputuskan bersifat final dan binding serta erga omnes. Selain itu putusan aquo kini telah dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sehingga sah menjadi sumber hukum acara pidana. Konsekuensinya penyidik, jaksa, badan-badan peradilan wajib mengetahui dan mematuhi putusan aquo.
Penegakan hukum pidana pemilu yang terikat dengan sistem peradilan pidana umum secara hukum terikat dengan Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yang semenjak diputuskan bersifat final dan binding serta erga omnes. Dus penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu yang dilakukan Bawaslu in casu pemenuhan syarat materil berupa saksi yang mengetahui peristiwa (vide pasal 9 ayat (4) huruf c Perbawaslu No. 7 Tahun 2018) wajib mematuhi Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010. Konsekuensi hukumnya, apabila dilanggar maka penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu tersebut menjadi melawan hukum. Wallahualam bissawab.
*Anggota Bawaslu Kota Bogor (2018-2023), menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada Program Ilmu Hukum FH Universitas ibn Khaldun Bogor (2001-2006), PK Profesi Advokat Peradi (2009), Sertifikasi Mediator IMN (2020) dan saat ini sedang menempuh pendidikan Srata 2 pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor (2019).