Lompat ke isi utama

Berita

Menimbang Wacana Peradilan Khusus Pemilu

Menimbang Wacana Peradilan Khusus Pemilu

Oleh:

Rika Handayani

Anggota Bawaslu Kota Bogor/ Kordiv. Hukum, Data dan Informasi

 
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan bagian integral dalam negara demokrasi. Sebuah condition sine qua non karena tanpa hadirnya maka Negara dianggap meninggalkan demokrasi. Pasca Reformasi Tahun 1998, pertumbuhan ide pembaruan kepemiluan berjalan dengan cepat. Sekali lima tahun, entah berapa banyak ide-ide baru yang berkaitan dengan kepemiluan dimasukan ke dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Sejak disahkannya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut “UU Pemilu”), Pemilu diselenggarakan secara serentak. Pemilu serentak merupakan “ijtihad politik” yang sangat progresif, karena menghadirkan lima pemilihan sekaligus mulai dari Presiden-Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Tahapan Pemilu 2019 secara prosedur berakhir dengan dilakukan pengambilan sumpah/janji seluruh anggota DPR, DPD, dan MPR yang terdiri 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD pada Selasa (1/10/2019) dan pengambilan sumpah/ janji Presiden dan Wakil Presiden terpilih, yaitu Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin pada Minggu (20/10/ 2019). Namun untuk perbaikan Pemilu kedepan, Bawaslu selaku pengawas Pemilu perlu melakukan evaluasi dan mengambil ibrah dari pelaksanaan Pemilu Tahun 2019. Karena hanya di Pemilu 2019 ini muncul fenomena meninggalnya petugas KPPS yang jumlahnya signifikan, setidaknya seorang KPPS di Kota Bogor meninggal pasca menjalankan tugasnya dan persoalan-persoalan teknis lainnya. Progresifitas “UU Pemilu” menjadikan Bawaslu secara struktural semakin signifikan perannya dibanding Pemilu sebelumnya. Secara kelembagaan, Bawaslu kini bersifat tetap (permanent) bahkan sampai tingkat kabupaten/kota (vide Pasal 89 Ayat (4) UU Pemilu). Selain itu, menurut Abhan (2019), Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu kini memiliki kewenangan besar yaitu kewenangan pengawasan, kewenangan penindakan pelanggaran Pemilu dan kewenangan untuk mengadili. Namun menurut Fritz Edward Siregar (2019) karena kewenangannya yang besar tersebut, kini Bawaslu dihadapkan dalam sebuah pertanyaan, apakah Bawaslu dapat menjadi sebuah peradilan  Pemilu ? Lembaga Kuasi Yudisial Kewenangan Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa proses dan pelanggaran administrasi yang prosesnya dilaksanakan melalui sebuah proses ajudikasi, menempatkan setiap anggota Bawaslu baik ditingkatan kabupaten/kota, provinsi dan RI harus mempelajari dan bertindak seperti layaknya seorang hakim dalam sebuah peradilan. Bahkan, secara tidak langsung, fungsi pengadilan itu sendiri telah dilaksanakan oleh pengawas Pemilu dari tingkat kabupaten/kota sampai dengan tingkat nasional. Bawaslu harus dapat menciptakan “sebuah majelis yang mampu memberikan keputusan yang adil”, dalam tenggang waktu yang sangat singkat untuk dapat melaksanakan fungsi ajudikasi yang diberikan kepada Bawaslu (Fritz Edward Siregar, 2019:9). Hal inilah yang telah menjadikan Bawaslu kini tidak saja melakukan pengawasan Pemilu, tapi juga sebagai lembaga yang memiliki fungsi “kuasi yudisial”, walaupun terbatas hanya pada penyelesaian sengketa proses Pemilu dan pelanggaran administrasi Pemilu. Jimly Asshiddiqie (2017) dalam “Putih Hitam Pengadillan Khusus”, menyebutkan Lembaga Kuasi Yudisial atau disebut “kuasi pengadilan” atau “semi pengadilan” merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sesuatu perselisihan ataupun perkara pelanggaran hukum, dan pelangar etika tertentu dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) sebagaimana putusan pengadilan yang bersifat “inkracht” pada umumnya. Beberapa lembaga yang bersifat kuasi yudisial ini berbentuk komisi-komisi Negara. Namun ada pula yang menggunakan istilah badan ataupun dewan. Di samping bersifat mengadili, lembaga ini juga memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campuran dengan fungsi regulasi dan/atau fungsi administrasi. Fungsi regulasi dapat dikaitkan dengan fungsi legislatif menurut doktrin ”Trias Politica Mostesqueieu”, sedangkan fungsi administrasi identik dengan fungsi eksekutif. Karena itu, komisi-komisi Negara atau lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengadili ini dapat dikatakan merupakan lembaga yang memiliki fungsi campuran. Dalam Pemilu Tahun 2019 lalu, Bawaslu Kota Bogor setidaknya 2 kali menjadi majelis ajudikasi yang menyidangkan pelanggaran administrasi Pemilu. Diantaranya melakukan ajudikasi terhadap Laporan Register Nomor 01/ADM/BWSL.KOTABOGOR/XII/2018 , tanggal 17 Desember 2018 dan Laporan Register Nomor 08/ADM/BWSL.KOTABOGOR/V/2019, tanggal 21 Mei 2019, dimana kedua laporan aquo diselesaikan dengan Sidang Pemeriksaan Acara Cepat.  Bahkan untuk Laporan Register Nomor 08/ADM/BWSL.KOTABOGOR/V/2019, tanggal 21 Mei 2019, setelah melalui proses pemeriksaan ajudikasi, Majelis Sidang Pemeriksa pada Bawaslu Kota Bogor memberikan putusan yang pada pokoknya menyatakan KPU Kota Bogor, selaku terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif pemilu dan seterusnya. Transformasi Bawaslu Denis Petit (2000;5) pernah menyebutkan challenges to election result or the conduct of election, should not be consired a weakness of the electoral system, but a sign of its resilience. Sehingga kemunculan persoalan Pemilu, misal pelanggaran dan/atau sengketa Pemilu janganlah dipandang sebagai kelemahan dari suatu sistem Pemilu tapi harus dipandang sebagai elemen penting dari Pemilu itu sendiri, atau bahkan keniscayaan karena mustahil dihindari. Sistem penyelesaian sengketa Pemilu sangat beragam diantara negara-negara dunia. Keragaman itu terkait dengan model pengaturan dan institusi-institusi yang terlibat didalamnya. Robert Dahl dan Michael Clegg (2011;121) dalam studinya menyebutkan bahwa kerangka kerja Pemilu dan proses administrasi dalam penyelesaian sengketa Pemilu bergantung pada keunikan budaya, politik dan tradisi hukum setiap Negara. Tidak ada pendekatan tunggal yang dapat berfungsi untuk semua Negara. Wacana mengenai peradilan khusus Pemilu sangat relevan, karena fakta hukumnya (recht feitelijk) upaya hukum dalam tahapan Pemilu yang terjadi selama ini seringkali tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, misalnya putusan Pengadilan yang baru diputus setelah tahapan Pemilu telah selesai dilaksanakan dan berlapis-lapisnya upaya hukum Pemilu sehingga kontraproduktif dengan tahapan Pemilu yang dibatasi oleh jangka waktu, terlebih upaya hukum tersebut terpisah dalam beberapa lingkungan peradilan (Siregar:2019;87). Pasal 157 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang menyebutkan: Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional. Namun karena hingga saat ini badan peradilan aquo belum terbentuk maka Mahkamah Konstitusi RI yang memeriksa dan mengadili perselisihan hasil Pemilu (PHPU). Tapi menjadi ahistoris karena fakta hukumnya Pasal 474 dan Pasal 475 UU Pemilu tidak konsisten untuk melanjutkan semangat pembaruan yang diamanatkan  Pasal 157 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016. Dalam UU Pemilu, positioning Mahkamah Konstitusi RI tidak progresif karena masih sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang diperintahkan untuk menyelesaikan perselisihan Pemilu, walaupun hal ini selaras dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (hasil amandemen). Eksistensi Badan Peradilan Khusus Pemilu dalam sistem kepemiluan di Indonesia merupakan keniscayaan dan problem solving untuk mengurai seluruh permasalahan yang terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia. Walaupun secara teknis-struktural apakah badan aquo berada dibawah struktur lingkungan Mahkamah Agung atau menjadi Badan Peradilan Khusus Pemilu yang otonom. Penutup Walaupun Badan Peradilan Khusus Pemilu masih sebatas wacana, tapi konteks progresifitas penegakan hukum pemilu harus terus massif dinarasikan. Diharapkan adanya Badan Peradilan aquo berbagai macam bentuk pelanggaran, sengketa ataupun tindak pidana Pemilu dapat diselesaikan oleh lembaga peradilan yang tunggal. Sehingga para pencari keadilan pemilu (electoral-justitia belen) mudah mendapatkan kepastian hukum (legal certainty). Namun disisi lain, penulis memberikan autokritik terhadap Bawaslu saat ini khusunya terkait kesiapan Bawaslu untuk bertransfomasi menjadi Badan Peradilan Khusus Pemilu. Jiika wacana ini dipertimbangkan dan menjadi cita idealitas, kedepan Bawaslu harus mulai berani dan serius menyiapkan sumber daya manusianya. Setidaknya mereka yang memiliki kapasitas dan kompetensi keilmuan hukum yang cukup yang mengisi Bawaslu kedepan sebagi ikhtiar progresifitas kelembagaan. [ ]