Lompat ke isi utama

Berita

MENAKAR KONSTRUK KEADILAN ELEKTORAL

MENAKAR KONSTRUK KEADILAN ELEKTORAL
Oleh: Firman Wijaya*   Pemilu di Indonesia merupakan implementasi dari nilai sila, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Menurut Dahlan Thaib (1992) dalam sila keempat Pancasila ini tersirat pedoman adanya proses siklus lima tahunan, yang disebut pemilu. Dus sila keempat Pancasila ini bisa dikatakan sebagai landasan filosopis dari pemilu. Sedangkan secara konstitusional pemilu diatur dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Diksi “adil” dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945 ini diadopsi norma pasal 3 huruf c UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (selanjutnya disingkat “UU No. 7/2017”). Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu harus berkeadilan. Namun menurut Dian Permata (2017) pelaksanaan pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Karena, di dalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan yang dilakukan oleh para peserta pemilu, salah satu bentuknya adalah praktik politik uang. Dalam rilis Bawaslu RI, tanggal 5 November 2019, menyebutkan pada Pemilu 2019 terdapat sebanyak 21.169 dugaan pelanggaran. Dari hasil penanganan yang dilakukan, sebanyak 2.578 dinyatakan bukan pelanggaran. Adapun sisanya, yaitu sebanyak 18.591 dinyatakan sebagai pelanggaran. Pelanggaran tersebut mencakup sebanyak 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya. Sehingga untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil (vide pasal 2 UU No. 7/2017) dibutuhkan suatu sistem keadilan elektoral (electoral justice). Konsep ini kali pertama dikenalkan The International IDEA dalam “Electoral Justice: The International IDEA Handbook (2010). Menurutnya, sistem keadilan elektoral merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Namun sebagai suatu konstruk, keadilan elektoral ini tidak lepas dari kritik, dan ini sangat wajar. Karena suatu konstruk sangat terbuka untuk diinterpretasi, dipersoalkan kembali, diperbarui, dan didekonstruksi untuk (dapat) lepas dari keterpakuan tekstual. Untuk itu penulis mencoba menakar kritik tersebut, karena keadilan merupakan postulat dalam sejarah manusia yang tidak pernah absen untuk didiskursuskan. Konstruk Keadilan Elektoral                                                 Menurut The International IDEA (2010) keadilan elektoral mencakup cara dan mekanisme yang tersedia di suatu negara tertentu, komunitas lokal atau di tingkat regional atau internasional untuk:
  1. Menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum;
  2. melindungi atau memulihkan hak pilih; dan
  3. memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.
Mekanisme sistem keadilan elektoral ini, meliputi baik tindakan pencegahan maupun metode formal dan informal dalam upaya penyelesaian sengketa pemilu. Setidaknya ada 3 (tiga) jenis mekanisme utama menurut The International IDEA (2010), diantaranya: Formal:
  1. Mekanisme formal atau korektif (misalnya mengajukan dan memproses gugatan pemilu): jika dilaksanakan, mekanisme ini akan menghasilkan keputusan untuk membatalkan, mengubah, atau mengakui adanya ketidakberesan dalam proses pemilu;
  2. Mekanisme penghukuman atau punitif (misalnya dalam kasus pelanggaran pidana): jika dilaksanakan, mekanisme ini akan menjatuhkan sanksi kepada pelanggar, baik badan maupun individu yang bertanggung jawab atas ketidakberesan tersebut, termasuk tanggung jawab (liability) pidana atau administratif terkait dengan pemilu; dan
Informal:
  1. Mekanisme alternatif: mekanisme ini dapat dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Konstruk sistem keadilan elektoral dari The International IDEA diadopsi UU No. 7/2017 dan terinstitusionalisasi pada tugas, wewenang dan kewajiban lembaga penegak hukum pemilu, salah satunya Bawaslu walaupun tidak taken for granted. Bawaslu kini bukan saja bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu tapi juga melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu. Menurut Yusuf Kurnia (2019) dalam penegakan hukum Pemilu, Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan pelanggaran, penyelesaian sengketa proses pemilu, pemberian keterangan tertulis di Mahkamah Konstitusi dan melakukan bantuan hukum atau advokasi terhadap pengawas pemilu secara berjenjang yang memiliki persoalan hukum. Dengan menggunakan pendekatan konstruk keadilan elektoral dari The International IDEA, mekanisme penyelesaian sengketa pemilu pada Bawaslu, vide UU No. 7/2017, diantaranya: Formal:
  1. Mekanisme formal atau korektif diadopsi Bawaslu pada penindakan dugaan pelanggaran administratif pemilu (termasuk Pelanggaran Administratif Pemilu yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif) dan penyelesaian sengketa proses pemilu (vide pasal 461, pasal 463, pasal 467, dan pasal 468 UU No. 7/2017).
  2. Mekanisme penghukuman atau punitif, misal pada penindakan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu (vide pasal 476, pasal 477, pasal 480, pasal 481, pasal 482, pasal 483 dan pasal 484 UU No. 7/2017). Bawaslu dalam penanganan dugaan pelanggaran ini berkoordinasi dengan POLRI dan Kejaksaan Agung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) (vide pasal 486 UU No. 7/2017). Hukum acara yang digunakan dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana pemilu sesuai dengan UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU No. 7/2017 (vide pasal 477 UU No. 7/2017).
Informal:
  1. Mekanisme informal yang dipilih UU No. 7/2017 sebagai alternatif penyelesaian sengketa proses pemilu adalah mediasi (vide pasal 468 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017).
Sedangkan pada penindakan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP), tugas Bawaslu hanya menyampaikan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan mengawasi putusan DKPP tersebut (vide pasal 93 huruf g angka 1, huruf h, pasal 457 UU No. 7 Tahun 2017).  Walaupun saat ini Bawaslu di tingkat kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk menerima, memeriksa dan memutus pelanggaran KEPP yang bersifat ad hoc (Panwascam, PPKD dan Panwas TPS) di wilayah masing-masing. Kemudian terhadap pelanggaran undang-undang lainnya, Bawaslu hanya berwenang untuk merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan terkait hasil pengawasan terhadap netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), netralitas anggota TNI dan netralitas anggota POLRI (vide pasal 95 huruf e UU No. 7/2017). Misal, terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN, Bawaslu merekomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).       Dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu (PSHP) permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), vide pasal 474 UU No. 7/2017. Dengan demikian MK yang memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa dan memutus PSHP. Tugas Bawaslu dalam PSHP hanya memberi keterangan tertulis di MK. Kompetensi absolut penyelesaian PSHP pada MK seharusnya pun dianggap sementara, karena menurut Fritz Edward Siregar (2019) pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015, maka dapat diketahui bahwa kelak kedepannya sebelum pemilihan serentak nasional maka dibentuk badan peradilan khusus. Namun karena hingga saat ini badan peradilan khusus yang dimaksud belum terbentuk maka MK yang berwenang memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu tersebut (vide pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. pasal 474 UU No. 7 Tahun 2017  jo. pasal 157 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016. Bukan Hanya “Kebenaran” Elektoral Pelaksanaan keadilan elektoral seperti pada konstruk The International IDEA yang diadopsi UU No. 7/2017 in casu konsep penindakan pelanggaran dan sengketa proses pemilu, hanya mendeskripsikan keadilan dalam kerangka penegakan hukum (electoral law enforcement). Sekalipun definisi keadilan elektoral yang dikemukan berangkat dari paradigma adanya jaminan terhadap hak pilih warga negara, namun batasan yang dikemukan jelas sangat prosedural-formalistik. Menurut Khairul Fahmi (2016) keadilan elektoral yang demikian hanya menjadi makna lain dari “kebenaran” elektoral.” Maknanya, pelaksanaan pemilu sudah berjalan benar sepanjang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Definisi demikian menunjukkan pemahaman terhadap keadilan elektoral baru sampai pada tingkat keadilan dalam pengertian positivisme-Kelsenian. Dimana keadilan dinilai dari aspek kecocokan tindakan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang-undang. Pemilu dianggap adil jika pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang ada. Dalam konteks itu, makna adil hanyalah kata lain dari “benar”. Sebab, penerapan hukum akan dikatakan “tidak adil” jika sebuah norma umum diterapkan pada satu kasus tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis lainnya yang muncul. Keadilan elektoral cakupannya harus luas, tidak sekedar dalam kerangka penegakan hukum, tapi juga mulai dari penyusunan regulasi sampai dengan pelaksanaannya oleh para penyelenggara pemilu, pemangku kepentingan dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Oleh karena itu, asas adil haruslah menjiwai sistem pemilu yang terdiri dari hukum pemilu (electoral law) maupun proses penyelenggaraan pemilu (electoral process). Sehingga menjadi relevan jika wacana keadilan elektoral ini dikaitkan dengan narasi besar filsuf generasi ketiga dari Teori Kritis/Mazhab Frankfurt, Axel Honnets dalam teori keadilan sebagai pengakuan (justice as recognition). Honneth mendefinisikan keadilan sebagai pengakuan dalam arti “respek.” Di sini yang ditekankan bukanlah kesamaan, tapi pengakuan atas martabat (dignity) setiap orang atau kelompok. Keadilan dalam konsepsi Honneth bukan lagi distribusi yang sama rata atau economic equality, melainkan social respect dan dignity (martabat). Dalam konteks ini, negara dapat dipahami sebagai institusionalisasi prinsip-prinsip pengakuan agar tercipta mutual recognition di antara anggota atau kelompok-kelompok masyarakat. Keberhasilan negara diukur dari fakta sampai sejauh mana ia mampu menciptakan mutual recognition di antara warganya sehingga masing-masing warga atau kelompok memiliki identitas pribadi yang sehat, saling mengakui dan dengan demikian dapat merealisasikan dirinya dalam kehidupan sosial dengan baik. Dalam konteks pemilu, keadilan sebagai pengakuan ini dapat diadopsi dalam norma-norma hukum pemilu (electoral law). Dalam UU No. 7/2017, narasi keadilan sebagai pengakuan ini sudah terakomodir walaupun masih minimalis. Misal pada norma pasal 5 UU No. 7/2017 yang memberikan pengakuan politik yang sama bagi penyandang disabilitas, baik sebagai pemilih (elektor) ataupun yang dipilih (kontestan elektoral). Selain itu dalam UU No. 7/ 2017 juga mengadopsi tindakan afirmatif (affirmative action) dalam bentuk kuota sekurang-kurangnya 30% perempuan baik untuk lembaga penyelenggara pemilu (termasuk timsel calon anggota penyelenggara pemilu) dan dalam kesempatan menjadi kontestan elektoral (peserta pemilu). Bahkan untuk kandidasi, kebijakan afirmatif tersebut dilengkapi dengan sistem zipper, vide pasal 246 ayat (2) dalam UU No. 7/2017. Namun pelaksanaan klausul affirmative action tersebut masih dianggap tidak mengikat (binding), karena diksi afirmatif cenderung dimaknai “memperhatikan” belaka yang tidak memiliki konksekuensi tertentu bagi yang melanggarnya. Misal pelaksanaan affirmative action dalam bentuk kuota sekurang-kurangnya 30% perempuan untuk lembaga penyelenggara pemilu, kita masih dapat menemukan KPU dan Bawaslu di tingkat kabupaten/kota yang anggotanya seluruhnya berjenis kelamin laki-laki (all mens commissioners). Wallahu a’lam bissowab. [ ] ____________________ *Anggota Bawaslu Kota Bogor (2018-2023).