Lompat ke isi utama

Berita

MEDIASI, LEKSIKON HUKUM BARU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU DAN KEKUATAN HUKUMNYA

MEDIASI, LEKSIKON HUKUM BARU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU DAN KEKUATAN HUKUMNYA
Oleh:  Firman Wijaya* *** Syahrizal Abbas (2009;334-335) mengutip Robert D. Benjamin, Director of Mediation and Conflict Management Service in St. Louis Missouri, menyatakan bahwa mediasi dikenal sejak sekitar tahun 1970, secara formal diterapkan dalam proses Alternative Dispute Resolution (ADR) di California. Kehadiran leksikon hukum baru ini dilatarbelakangi atas ketidakpuasan masyarakat Amerika Serikat terhadap sistem administrasi penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di lembaga peradilan yang dianggap membutuhkan waktu terlalu lama dan biaya mahal sehingga para pihak yang bersengketa dan masyarakat kesulitan mendapatkan akses terhadap keadilan (access to justice). Mediasi secara etimologi berasal dari bahasa latin “mediare” yang berarti ditengah atau berada ditengah, karena orang yang melakukan mediasi (mediator) harus menjadi penengah orang yang bertikai (Rachmadi Usman:2003;79). Sedangkan secara terminologis, Gary Goopaster (1999;201) memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. *** UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), secara formal mengenalkan leksikon hukum mediasi di Indonesia. Walaupun pengaturan mediasi dalam undang-undang aquo sangatlah minim. Sedangkan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Bab XII dalam hal ini pada pasal 60 diatur tentang Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, pengaturannya cukup jelas bahkan menyebutkan APS lain, seperti konsiliasi dan penilaian ahli. Kini semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan, termasuk perkara verzet atas putusan verstek dan partij verzet maupun derden verzet terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib diupayakan penyelesaian melalui mediasi dahulu, kecuali ditentukan lain dalam Perma aquo (vide pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Selain itu, mediasi juga digunakan untuk menyelesaikan berbagai sengketa kebijakan-kebijakan sektoral di masyarakat. Misal sengketa lingkungan hidup (vide pasal 84-86 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), ketenagakerjaan (vide pasal 5 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial), pemilihan umum (vide pasal 94 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) dan lainnya. *** Pemilu yang melibatkan peserta pemilu dan penyelenggara pemilu das sein tidak dapat terhindar dari sengketa. Sehingga kini terdapat pelembagaan konflik/sengketa pemilu berupa “penyelesaian sengketa proses pemilu,” yang menjadi kompetensi absolut dari Bawaslu. Penyelesaian sengketa proses pemilu ini juga kini menjadi tugas, kewenangan dan kewajiban dari Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota (vide pasal 468 UU No. 7 Tahun 2017 jo. pasal 5 Perbawaslu No. 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Perbawaslu No. 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu). Pada perkembangannya kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu ini menjadi kewenangan mahkota yang dimiliki Bawaslu (Yulianto:2019;viii). Sengketa proses pemilu yang dimaksud meliputi sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota (vide pasal 466 UU No. 7 Tahun 2017 jo. pasal 4 dan pasal 4a Perbawaslu No. 5 Tahun 2019). Penerapan prosedur mediasi dalam peyelesaian sengketa proses pemilu dinilai lebih efektif, karena terikat prinsip cepat dan tanpa biaya (vide pasal 2 ayat (2) Perbawaslu No. 18 Tahun 2017) dan dapat mengurangi beban Bawaslu dalam melakukan proses adjudikasi. Hal itu terlihat pada penyelesaian sengketa proses pemilu tahun 2019 di Bawaslu Provinsi Jawa Barat. Menurut Abdulah Dahlan (2019;v) Bawaslu Provinsi Jawa Barat dan Bawaslu Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat telah menyelesaikan 24 permohonan sengketa proses pemilu yang diajukan pada pemilu tahun 2019, dan terdapat 14 permohonan aquo yang diselesaikan melalui forum mediasi, sedangkan 10 permohonan lainnya diselesaikan melalui proses adjudikasi.   Memperhatikan perkembangan diskursus mediasi dan efektifitas penerapan prosedur mediasi dalam proses penyelesaian sengketa proses pemilu mendorong penulis untuk menulis opini dan mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimana prosedur mediasi dalam penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota ?; dan (2) Bagaimana kekuatan hukum putusan mediasi dalam penyelesaian sengketa proses pemilu tersebut ?. *** Prosedur Mediasi Mediasi merupakan leksikon hukum baru rezim pemilu dalam UU No. 7 Tahun 2017, namun secara praktek telah dilaksanakan pada pemilu sebelumnya yang dikenal dengan “musyawarah.” Yulianto (2019;ix) menyebutkan meski sama-sama bertujuan mencari kesepakatan para pihak, terdapat perbedaan bentuk antara musyawarah dengan mediasi. Musyawarah bersifat terbuka sementara mediasi bersifat tertutup. Peraturan Bawaslu terkait tata cara penyelesaian sengketa proses pemilihan umum memang mengalami beberapa kali perubahan dan terakhir dirubah oleh Perbawaslu No. 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Perbawaslu No. 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (Berita Negara RI No. 419 Tahun 2019). Namun perubahan-perubahan Perbawaslu tersebut tidak merubah secara signifikan terhadap substansi hukum yang mengatur prosedur mediasi dalam Perbawaslu No. 18 Tahun 2017. Pengertian mediasi yang disebutkan pada pasal 1 angka 18 Perbawaslu 2017, tidak mengalami perubahan pada pasal 1 angka 18 Perbawaslu 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Perbawaslu No. 18 2017. Dalam pasal  1 angka 18  Perbawaslu 5 Tahun 2019 disebutkan bahwa “mediasi atau musyawarah yang selanjutnya disebut mediasi adalah proses musyawarah secara sistematis yang melibatkan para pihak untuk memperoleh kesepakatan.” *** Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan mediasi terhadap permohonan yang telah diregister, kemudian menentukan jadwal pelaksanaan mediasi dan melakukan pemanggilan para pihak untuk menghadiri mediasi. Mediasi ini wajib dihadiri pemohon dan termohon. Dalam hal pemohon dan/atau termohon tidak menghadiri pemanggilan pertama, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota menentukan jadwal dan melakukan pemanggilan Kembali (vide pasal 19 (1), (2), (3), (4), dan (5) Perbawaslu No. 18 Tahun 2017). Apabila pemohon tidak menghadiri mediasi setelah dua kali dilakukan pemanggilan, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota membuat putusan permohonan gugur. Apabila termohon tidak menghadiri mediasi setelah dua kali dilakukan pemanggilan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota menyatakan mediasi tidak mencapai Kesepakatan dan dituangkan dalam Berita Acara (vide pasal 19 ayat (6) dan (7) Perbawaslu No. 18 Tahun 2017). Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) Perbawaslu No. 18 Tahun 2017 menyebutkan pelaksanaan mediasi diselesaikan paling lama 2 (dua) hari dan dilaksanakan secara tertutup yang dipimpin oleh paling sedikit 1 (satu) orang mediator. Adapun tahapan-tahapan mediasi penyelesaian sengketa proses Pemilu di Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota, vide pasal 21 Perbawaslu No. 18 Tahun 2017 antara lain sebagai berikut: (a) pimpinan mediasi menyampaikan pernyataan pembuka; (b) penyampaian kronologis permasalahan dari para pihak; (c) perundingan kesepakatan penyelesaian sengketa proses pemilu; (d) penyusunan kesepakatan para pihak oleh mediator; dan (e) penandatanganan berita acara kesepakatan atau ketidaksepakatan. *** Dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota menuangkan dalam “Berita Acara Mediasi Tercapai Kesepakatan” yang ditandatangani oleh para pihak dan pimpinan mediasi. Berita Acara sebagaimana dimaksud sebagai dasar bagi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota dalam membuat “Putusan Terjadinya Kesepakatan Mediasi PSPP”. Putusan aquo kemudian dibacakan oleh pimpinan mediasi dalam forum Mediasi yang terbuka untuk umum (vide Pasal 23 Perbawaslu No. 18 Tahun 2017). Sebaliknya dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota menuangkan dalam “Berita Acara Mediasi Tidak Tercapai Kesepakatan” yang ditandatangani oleh para pihak dan pimpinan mediasi. Karena mediasi tidak mencapai kesepakatan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota melanjutkan penyelesaian sengketa proses Pemilu melalui proses “adjudikasi.” Pimpinan mediasi memberitahukan waktu dan tempat pelaksanaan adjudikasi secara lisan dalam forum Mediasi sebagai panggilan resmi (vide Pasal 24 Perbawaslu No. 18 Tahun 2017). *** Dalam pelaksanaan mediasi, pimpinan mediasi dibantu oleh tim mediasi yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Bawaslu, Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi, atau Kepala Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota. Tim mediasi tersebut yaitu 2 (dua) orang pegawai di Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota yang terdiri atas: (a) 1 (satu) orang sekretaris; dan (b) 1 (satu) orang notulen. Sekretaris mediasi merupakan pegawai pada Sekretariat Jenderal Bawaslu, Sekretariat Bawaslu Provinsi, atau Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota yang bertugas memberikan dukungan administrasi, operasional, dan dokumentasi. Sedangkan notulen merupakan pegawai pada Sekretariat Jenderal Bawaslu, Sekretariat Bawaslu Provinsi, atau Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota bertugas untuk mencatat pokok-pokok pembahasan pada saat jalannya mediasi dengan atau tanpa alat bukti elektronik atau aplikasi penunjang. *** Kekuatan hukum putusan mediasi Dalam rezim hukum perdata, kekuatan putusan terjadinya kesepakatan dalam mediasi diatur dalam Pasal 1858 ayat (1) dan (2) KUH Perdata jo. Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg ayat (2) dan ayat (3) yang mengatur perdamaian dan perjanjian perdamaian. Pasal-pasal aquo pada intinya menerangkan bahwa putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama layaknya putusan hakim (pengadilan) dalam tingkat akhir, sehingga memiliki kekuatan hukum tetap, dan terhadap putusan tersebut tidak dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi. Rumusan pasal 1858 KUH Perdata tersebut menyebutkan: (a) segala perdamaian di antara para pihak mempunyai suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan; dan (b) tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan. Selanjutnya, pasal 130 HIR/154 RBg ayat (2) dan (3) menyebutkan: (a) jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang dibuat itu, maka surat (akta) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa; dan (b) tentang keputusan yang demikian tidak dapat dimintakan banding. *** Dalam hal mediasi dalam penyelesaian sengketa proses pemilu mencapai kesepakatan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota menuangkan dalam “Berita Acara Mediasi Tercapai Kesepakatan” yang ditandatangani oleh para pihak dan pimpinan mediasi. Kemudian Berita Acara tersebut menjadi dasar bagi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota dalam membuat “Putusan Terjadinya Kesepakatan Mediasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu”. Putusan aquo memiliki kekuatan bersifat final dan mengikat (vide pasal 469 ayat (1) jo. pasal 36 Perbawaslu No. 18 Tahun 2017). Selain itu putusan aquo sama seperti halnya Akta Perdamaian (acta van dading) hasil mediasi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan eksekutorial. Hal ini menjadi berdasar hukum karena Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota diberi kewenangan absolut untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu (vide pasal 468 UU No. 7 Tahun 2017 jo. pasal 5 Perbawaslu No. 5 Tahun 2019). *** Putusan Terjadinya Kesepakatan Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu yang diputus Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota, setidaknya secara konseptual memiliki 3 (tiga) kekuatan hukum layaknya putusan biasa, yakni memiliki kekuatan mengikat, final, kekuatan pembuktian sempurna, dan kekuatan eksekutorial. Kekuatan mengikat berarti setiap butir yang telah disepakati dan dituangkan dalam Berita Acara Mediasi Tercapai Kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam Putusan Terjadinya Kesepakatan tersebut berlaku selayaknya undang-undang bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Sedangkan kekuatan final berarti dengan ditingkatkannya status kesepakatan perdamaian dalam Berita Acara Mediasi Tercapai Kesepakatan menjadi Putusan Terjadinya Kesepakatan telah menutup segala upaya hukum bagi para pihak.   Kemudian memiliki kekuatan pembuktian sempurna berarti Berita Acara Mediasi Tercapai Kesepakatan yang kemudian dikuatkan dalam Putusan Terjadinya Kesepakatan memiliki kekuatan pembuktian sempurna, artinya apabila akta perdamaian tersebut dijadikan alat bukti, maka tidak memerlukan alat bukti pendukung lainnya untuk membuktikan telah terjadinya peristiwa maupun hubungan hukum lainnya yang telah menimbulkan hak dan kewajiban, karena Putusan aquo sama halnya dengan akta otentik buatan pejabat umum yakni hakim melalui putusan mediasi dan dibuat secara sengaja untuk dapat dijadikan dan digunakan sebagai alat bukti.  *** Kekuatan eksekutorial merupakan hal paling penting dari suatu putusan, sehingga para pihak yang bersengketa tidak sia-sia berperkara di Bawaslu, Bawaslu Provinsi, maupun Bawaslu Kabupaten/Kota. Putusan Terjadinya Kesepakatan Mediasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan suatu Putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial. Sehingga putusan aquo dapat dilaksanakan dengan cara dieksekusi oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota tentunya dalam hal salah satu pihak mengingkarinya Putusan Terjadinya Kesepakatan Mediasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan salah satu produk Putusan dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota, selain putusan adjudikasi dalam sengketa proses pemilu. Sehingga secara sistematika putusan aquo harus sesuai pasal 37 Perbawaslu No. 5 Tahu 2019. Salah satunya dengan memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada bagian kepala putusannya (vide pasal 37 ayat 2 huruf a angka 5 Perbawaslu No. 5 Tahun 2019). Hal ini menjadi penting karena memiliki konsekuensi hukum terhadap daya ikat atau kekuatan eksekutorial suatu putusan. Karena setiap akta atau putusan yang dalam kepala putusannya memuat irah-irah, maka termasuk dalam akta otentik. Selain itu pada bagian penutup Putusan Terjadinya Kesepakatan Mediasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu juga disebutkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota dapat melakukan eksekusi, jika salah satu pihak mengingkarinya Dengan demikian, kesepakatan para pihak dalam penyelesaian sengketa proses pemilu dalam “Berita Acara Mediasi Tercapai Kesepakatan” yang kemudian dikuatkan dalam “Putusan Terjadinya Kesepakatan Mediasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu” dan dibacakan oleh pimpinan mediasi secara terbuka dan dapat dihadiri oleh Pemohon, Termohon, serta pihak terkait tersebut memiliki kepastian hukum layaknya putusan lain yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni memiliki kekuatan mengikat, final, kekuatan pembuktian sempurna, dan kekuatan eksekutorial. Wallahualam bissawab. [ ] *Anggota Bawaslu Kota Bogor (2018-2023), menyelesaikan Pendidikan Strata 1 pada Program Ilmu Hukum FH Univ. Ibn Khaldun Bogor (2001-2006), Pendidikan Khusus Profesi Advokat Peradi pada FH Universitas Pakuan Bogor (2009), Sertifikasi Profesi Mediator pada IMN (2020) dan saat ini sedang menempuh Pendidikan Srata 2 pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor (2019