GEJALA PSEUDO-DEMOCRACY: IMPLIKASI POLITIK UANG DAN STRATEGI PENCEGAHANNYA
|
GEJALA PSEUDO-DEMOCRACY: IMPLIKASI POLITIK UANG DAN STRATEGI PENCEGAHANNYA
Oleh: Firman Wijaya*
***
Penyelenggaraan sistem politik demokratis tidak mudah, sangat rumit, berbelit-belit, dan bahkan tidak semua negara yang mengalami masa transisi berhasil mencapai konsolidasi demokrasi (Kristiadi:2000;xxiv). Syaiful Bahri Anshori (2000;iii) menyebutkan, setidaknya ada tiga pendapat yang cukup kuat untuk menyelesaikan masa transisi tersebut. Pertama melalui revolusi, kedua menerapkan kepemimpinan kolektif atau presidium, dan ketiga mengadakan Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu tahun 1999, yang diselenggarakan tanggal 7 Juni 1999 merupakan ikhtiar awal transisi dari rezim post-otoritarianism orde baru (orba) menuju konsolidasi demokrasi. Pemilu dengan sistem multi partai seperti pada Pemilu 1955 tersebut, dinilai sebagai Pemilu yang mendekati sempurna. Walaupun demikian, menurut A. Malik Haramain dan MF. Nurhuda Y. (2000;157) suatu negara yang memulai masa transisi tidak otomatis akan mencapai konsolidasi demokrasi.
Setelah dua dasawarsa reformasi, Azyumardi Azra (dalam Kompas, 12/12/2019) menyebutkan kian banyak kalangan yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi negara ini. Walaupun Olle Törnquist (2009;16) menyebutkan demokrasi Indonesia secara komparatif bisa dianggap cukup mapan, namun secara struktur pondasinya goyah. Wajar jika Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (dalam The Jakarta Post, 21/9/2019) menyebutkan demokrasi Indonesia kini berada di titik terendah dalam 20 tahun terakhir.
***
Dian Permata (2017;54) menyebutkan Pemilu sebagai pesta demokrasi di Indonesia masih belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena dalam pemilu selalu disuguhi kecurangan atau pelanggaran tindak pidana, misal praktek politik uang. Menurut penulis, mungkin ini salah satu penyebab gagalnya tesis Samuel P. Huntingtong (1997;10) yang menyebutkan transisi demokrasi seharusnya berakhir pada dua kali pemilu yang demokratis, tidak terwujud di Indonesia ?.
Pada Pemilu tahun 2019, Bawaslu Provinsi Jawa Barat menyebutkan ada 17 putusan tindak pidana Pemilu 2019 yang in kracht van gewijsde. Dari putusan aquo, diantaranya ada 5 putusan terkait politik uang, yaitu di Kab. Cianjur, Kab. Indramayu, Kab. Bekasi, dan 2 putusan di Kab. Tasikmalaya. Sedangkan pada Pilkada (Pemilihan) tahun 2020 di 8 kabupaten/kota, tren dugaan pelanggaran politik uang berjumlah 52. Dari tren ini, terdapat 4 putusan yang in kracht van gewijsde, diantaranya 1 putusan di Kab. Cianjur dan 3 putusan di Kab. Pangandaran.
Sehingga menjadi strategis bagi Bawaslu Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan kegiatan Rapat Evaluasi Penanganan Pelanggaran Politik Uang dan Dana Kampanye Pemilihan dengan dengan format focus group discussion (FGD) di kantor Bawaslu Kota Bogor (18/06/2021). FGD yang berlangsung full day ini dibuka oleh Abdullah Dahlan (Ketua Bawaslu Prov. Jawa Barat), dan diisi dengan materi dari Zaki Hilmi (Kordiv. PHL), Yulianto (Kordiv. PS), dan Ahmad Jamaludin (Akademisi), kemudian ditutup oleh H. Wasikin Marzuki (Kordiv. SDM).
Tulisan ini hanya opini penulis yang mencoba mendiskursuskan kembali bahaya praktek politik uang terhadap transisi demokrasi, me-reekspos larangan dan sanksi politik uang dalam Pemilu dan Pemilihan, serta strategi pencegahannya yang ditinjau dari optik pengawas pemilu. Sebagian besar substansinya berasal dari catatan-catatan penulis dalam memotret praktek demokrasi elektoral selama ini dan resultante dari proses dialektika yang cukup dinamis dalam kegiatan FGD tersebut.
***
Gejala Pseudo-Democracy
Praktek politik uang dari Pemilu ke Pemilu atau dari Pemilihan ke Pemilihan tak bisa dipungkiri menjelma menjadi tantangan besar bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Menurut Tjahjo Kumolo (2015;155) politik uang sudah menjadi budaya dalam perpolitikan di Indonesia. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari Pemilihan Kepala Desa sampai Pemilu.
Edward Aspinal dan Made Sukmajati (2014;2-4) mengaitkan politik uang dengan konsep patronase dan klientalisme. Patronase merujuk pada sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja, atau pegiat kampanye. Sedangkan klientalisme merujuk kepada karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung.
Serra Gilles, seperti dikutip August Mellaz (2018;iv) menyebutkan masifnya politik uang menjadi salah satu faktor stagnannya kualitas demokrasi dan tanda tak terkawalnya agenda transisi, yakni pemberantasan korupsi (in casu korupsi politik). Menurutnya strategi pencegahan politik uang seharusnya paralel dan/atau masuk agenda setting transisi menuju konsolidasi demokrasi.
***
Abdullah Dahlan, dalam pembukaan FGD menyatakan mata rantai transaksi politik uang itu melibatkan relasi dan modus beragam, diantaranya: (a) transaksi elit ekonomi (pemilik uang) dengan paslon kepala daerah, misal: sumbangan dana kampanye dibarter dengan kebijakan tertentu (jika terpilih), (b) transaksi paslon dengan parpol, misal: mahar politik, (c) transaksi paslon/tim kampanye dengan birokrasi dan penyelenggara pemilihan, misal: promosi jabatan kepada oknum ASN pendukung, janji peningkatan sarana prasana lembaga penyelenggara, dan (d) transaksi paslon/tim kampanye dengan massa pemilih, misal: pembagian sembako gratis, “serangan fajar,” dan lain-lain.
Sedangkan Zaki Hilmi, pada FGD menyebutkan kerawanan politik uang dalam demokrasi ditengah Covid 19 bisa diakibatkan karena masyarakat/pemilih mengalami kondisi yang sulit secara ekonomi, dimana pendapatan berkurang tapi kebutuhan meningkat. Disamping itu, kesadaran hukum dimasyarakat juga masih rendah, bahkan persmisif dan menganggap politik uang berkah Pemilihan ditengah pandemik Covid-19. Selain itu, Ahmad Jamaludin juga mengingatkan bahaya potensi politisasi bantuan sosial Covid 19 oleh petahana atau yang memiliki relasi dengan petahana.
Larry Diamond (2003: 16-17) menyebut fenomena demikian sebagai gejala demokrasi semu (pseudo-democracy). Indikatornya dalam demokrasi yang belum matang seperti di Indonesia, politik transaksional dengan memberikan dan/atau menjanjikan sejumlah uang dan/atau materi lainnya dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan. Inilah yang membahayakan tujuan demokrasi dan kesimpulan sementaranya, demokrasi belum dipahami sebagai instrumen untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
***
Larangan dan Sanksi
UU No. 7/2017 tentang Pemilu secara eksplisit memberikan tugas mencegah terjadinya praktek politik uang kepada Bawaslu, bahkan sampai tingkat kelurahan/desa (vide pasal 93 huruf e, pasal 97 huruf c, pasal 101 huruf c, pasal 105 huruf c, dan pasal 108 huruf b). Politik uang dalam rezim UU aquo merupakan salah satu pelanggaran tindak pidana Pemilu (vide Pasal 280 ayat (4)).
Larangan politik uang in casu memberi uang dan/atau materi lain ada pada setiap tahapan pemilu, diantaranya pada: (a) tahapan kampanye (vide pasal 280 ayat (1)), (b) masa tenang (vide pasal 278 ayat (2)), (c) tahapan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (vide pasal 519), (d) pemungutan suara (vide pasal 515 jo. pasal 523 ayat (3)) dan (e) kepada Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih dengan maksud untuk mempengaruhi (vide pasal 286 ayat (1)).
Ancaman sanksi pidana bagi pelaku (dader) politik uang tidak ringan, beragam dan tergantung pada tahapan apa delik itu dilakukan, atau tempus delicti-nya. Misal pidana penjara tertinggi paling lama 4 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp 48 juta rupiah, jika delik itu terbukti dilakukan pada masa tenang (vide pasal 278 ayat (2)). Sanksi administratif pembatalan juga dapat diberikan, jika terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (vide pasal 286 ayat (2) dan ayat (3)). Pemberian sanksi administratif ini tidak menggugurkan sanksi pidananya (vide pasal 286 ayat (4)). Sehingga dalam politik uang, dader dapat di sanksi pidana sekaligus administratif.
***
Sedangkan pada rezim Pemilihan (vide UU No. 1/2015, UU No. 8/2015, UU No. 10/2016, terakhir dirubah dengan UU No. 6/2020 tentang Penetapan Perppu No. 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 1/2015), politik uang dilarang bagi calon dan/atau tim kampanye untuk mempengaruhi Penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih (vide pasal 73 ayat (1) UU No. 10/2016). Larangan politik uang juga berlaku bagi selain calon atau pasangan calon, diantaranya anggota partai politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain (vide pasal 73 ayat (4) dan ayat (3) UU No. 10/2016).
Pelaku politik uang dalam UU No. 10/2016 diancam sanksi pidana penjara paling singkat 36 bulan, paling lama 72 bulan, denda paling sedikit Rp 200 juta rupiah, dan paling banyak Rp 1 milyar rupiah (vide pasal 187A ayat (1)). Sanksi Pidana yang sama juga diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja menerima pemberian atau janji uang atau materi lainnya sebagai imbalan (vide pasal 187A ayat (2)).
Pada pasal 73 ayat (2) UU No. 10/2016 disebutkan calon yang terbukti melakukan politik uang dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi. Pelanggaran ini harus terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (vide pasal 135A (1)). Pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran ini tidak menggugurkan sanksi pidananya (vide pasal 73 ayat (4)).
***
Strategi Pencegahannya
Implikasi dikeluarkannya RUU Pemilu dari Prolegnas prioritas 2021, diantaranya Pemilu dan Pemilihan serentak tahun 2024 akan tetap menggunakan undang-undang yang berlaku saat ini (ius constitutum). Kemungkinan persoalan kompleksitas regulasi dan potensi pelanggaran yang akan dihadapi oleh pengawas Pemilu juga akan sama, misal pelanggaran politik uang dan dana kampanye. Dus untuk mengatasi potensi tersebut diperlukan strategi pencegahan yang sistematik-komprehensif.
Ahmad Jamaludin, pada FGD menyebutkan pencegahan pelanggaran politik uang dapat dilakukan dengan cara: (a) menyusun Indeks Kerawanan Pemilu, (b) pengawasan secara langsung, (c) mengembangkan pengawasan partisipatif, (d) menjalin kerjasama dengan stakeholder terkait, (e) sosialisasi dan pendidikan politik. Selain itu, menurutnya terdapat kaitan antara praktek politik uang dengan dana kampanye. Potensi kerawanan pelanggaran dana kampanye diantaranya: (a) penyumbang fiktif dan manipulasi sumbangan, (b) kepatuhan terhadap pelaporan LADK, LPSDK dan LPPDK, (d) sumber sumbangan yang dilarang, (e) perhitungan pengeluaran dana kampanye, dan (f) perbandingan pengeluaran ril dan hasil audit kampanye.
Sedangkan menurut Zaki Hilmi, strategi yang dapat dilakukan Bawaslu dalam pencegahan pelanggaran politik uang dan dana kampanye, diantaranya: (a) penguatan kapasitas pengawas Pemilu, (b) melakukan pencegahan dan sosialisasi, (c) memaksimalkan koordinasi dan konsolidasi dalam Sentra Gakkumdu untuk menyamakan pola dan pemahaman dalam penanganan tindak pidana Pemilu/Pemilihan atas pelanggaran politik uang/dana kampanye, dan (d) membangun sinergitas dan kerjasama dengan seluruh stakeholder Pemilu/Pemilihan.
***
Dalam FGD juga berkembang gagasan-gagasan progresif, seperti disampaikan oleh Abdullah Dahlan. Menurutnya perlu ada peningkatan kedudukan “Nota Kesepahaman Bersama (MoU)” menjadi Perjanjian Kerjasama (PKs). MoU yang sudah dilakukan oleh Bawaslu dengan lembaga penegak hukum lain harus berdampak signifikan in casu pada sistem penegakan hukumnya, sehingga perlu ditingkatkan kedudukannya menjadi “PKs”. Misal “PKs” antara Bawaslu dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).
Menurut penulis hal ini menjadi strategis, karena penindakan terhadap pelanggaran politik uang dan dana kampanye harus menempatkan kegiatan pencegahan pada ranah sistematik-komprehensif. Sehingga dapat mencegah potensi pelanggaran ini sejak dari bagian hulu. Penindakan pelanggaran politik uang dan dana kampanye menjadi tidak tuntas, jika penindakan hanya dilakukan di hilir saja atau kepada para dader di lapangan. Pengungkapan jaringan besar politik uang dalam setiap Pemilu dan Pemilihan merupakan keniscayaan.
Misal mengungkap siapa penyuruhnya (doenpleger) ?, siapa yang turut serta (mededader) ? atau bahkan siapa yang memberi kesempatan (medepletigheid) ?. Hal ini beralasan, karena menurut Dian Permata dan Daniel Zuchron (2018;46) secara empirik aktor politik uang itu beragam, mulai dari botoh (penjudi) hingga korporasi. Untuk itu menurut penulis, pengawas Pemilu harus berani menerapkan pasal 55 atau pasal 56 KUHP, karena patut diduga setiap pelanggaran aquo tidak selalu pelaku tunggal (vrijgezel dader).
***
Dalam FGD, Ahmad Jamaludin juga mengkritik bahwa desain penegakan hukum Pemilu dan Pemilihan saat ini memang sangat kompleks, berlapis, dan terkesan mengunci, sehingga sering menghasilkan bottleneck. Ditambah dominasi pendekatan sanksi pidana yang seharusnya ultimum remidium. Tapi justru terlihat diposisikan sebagai instrumen utama untuk menindak para pelaku pelanggaran politik uang dan dana kampanye, dibandingkan sanksi administratif.
Dalam hal ini penulis setuju, tapi dengan catatan bahwa ancaman sanksi administratif tersebut adalah sanksi administratif yang diperluas. Artinya tidak hanya menjerat para dader, seperti yang ditentukan dalam rumusan pasal-pasal dalam rezim UU Pemilu dan Pemilihan. Tapi sanksi administratif juga perlu diberikan kepada partai politik (parpol), sehingga parpol sebagai peserta Pemilu bisa ikut menekan praktek politik uang di Pemilu dan Pemilihan dilingkarannya.
Misalkan, sanksi administratif berupa pembatalan/diskualifikasi sebagai peserta Pemilu dikenakan juga untuk parpol, jika ada calon anggota DPR, DPRD Provinsi/Kab/Kota yang dicalonkan oleh parpol tersebut terbukti melakukan pelanggaran politik uang atau dana kampanye. Hal ini memang illusionir, karena rumusan sanksi seperti ini tidak ada pada pasal-pasal dalam rezim UU Pemilu saat ini.
Dus diperlukan politik hukum yang progresif dalam mewujudkan Pemilu yang berkeadilan. Karena untuk mewujudkannya, bukan sekedar faktor penyelenggara Pemilu yang profesional dan berintegritas ansich, tapi juga dibutuhkan produk hukum atau UU Pemilu yang responsif serta budaya hukum/kepatuhan peserta Pemilunya. Untuk itu wacana revisi UU Pemilu in casu unifikasi rezim UU Pemilu dan UU Pemilihan dalam satu UU perlu dihidupkan terus, walaupun untuk Pemilu dan Pemilihan serentak tahun 2024 nanti narasi besar ini masih sebatas ius constituendum . Wallahu’alam bis shawab. [ ]
*Anggota Bawaslu Kota Bogor (2018-2023)