Lompat ke isi utama

Berita

Diskrepansi putusan Pengadilan dengan "Stelsel" Pemidanaan dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu

Diskrepansi putusan Pengadilan dengan "Stelsel" Pemidanaan dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Oleh: Firman Wijaya* Pelaksanaan pemilu yang memenuhi asas “luber dan jurdil” (vide pasal 2 UU No. 7/2017) akan terwujud jika ada jaminan perlindungan bagi pemilih, peserta pemilu, dan masyarakat umumnya dari segala bentuk ancaman, paksaan, ketakutan, praktik korupsi elektoral maupun kecurangan elektoral lainnya yang bisa mempengaruhi integritas proses pemilu maupun integritas hasil pemilu. Menurut Topo Santoso (2003) jika pemilu dimenangkan melalui cara-cara curang (malpractices) maka sulit dikatakan bahwa para pemimpin atau para legislator yang terpilih di parlemen merupakan wakil-wakil rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Abdullah Dahlan (2019) yang menyebutkan proses pemilu yang tidak demokratis berimplikasi pada lemahnya legitimasi hasil pemilu, bahkan pemerintahan yang terpilih cenderung berpotensi melakukan tindakan-tindakan yang tidak demokratis. Pembuat undang-undang telah melakukan klasifikasi sejumlah perbuatan electoral malpractices sebagai tindak pidana. Walaupun, das sein tindak pidana pemilu ini tidak didefinisikan dalam UU No. 7/2017. UU a quo hanya mengatur tata cara penanganan tindak pidana pemilu (vide pasal 476-484), majelis khusus tindak pidana pemilu (vide pasal 485), Sentra Gakkumdu (vide pasal 486) dan ketentuan pidana pemilu (vide pasal 488-554). Jika ditelusuri, definisi tindak pidana pemilu ditemukan pada pasal 260 UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan “Tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.” Sedangkan menurut Topo Santoso (2019) tindak pidana pemilu adalah tindakan/perbuatan (aktif/pasif) yang melanggar ketentuan dalam tahapan-tahapan penyelenggaran pemilu yang diancam dengan sanksi pidana dalam undang-undang pemilu. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahas epistemologi tindak pidana pemilu secara komprehensif. Penulis hanya mendiskursuskan bagian kecil dari rezim tindak pidana pemilu formal, yaitu putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana pemilu ditinjau dari stelsel pemidanaan dalam UU No. 7/2017. Menurut penulis diskursus ini menarik, karena putusan hakim seharusnya (das sollen) dapat menjadi instrumen pengukur kualitas dan kemampuan hakim dalam menegakkan keadilan. Putusan hakim seharusnya juga menghasilkan putusan yang imparsial, argumentatif dan rasional, disamping sesuai dengan hukum yang berlaku. Stelsel Pemidanaan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jo. pasal 1 angka 1 UU No. 48 /2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan sikap kemandirian hakim sebagai aktor utama kekuasaan kehakiman dari campur tangan pihak manapun serta menjamin kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 48/2009 menyebutkan segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang dan diancam dengan sanksi pidana. Lilik Mulyadi (2010) menyebutkan putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, faktual, cerminan etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. Sedangkan menurut Achmad Ali (2010) putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah dengan majelis hakim sebagai poros utamanya. Pasal 50 ayat (1) UU No. 48/2009 menyebutkan putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pada asasnya, putusan pemidanaan atau “veroordelling” dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana (vide pasal 193 ayat (1) KUHAP). Putusan pemidanaan dapat dijatuhkan melebihi dari tuntutan pidana yang disampaikan oleh jaksa/penuntut umum akan tetapi tidak melebihi ancaman maksimal yang ditentukan dalam undang-undang. Putusan Hakim harus mengacu pada kerangka pikir tertentu yang dibangun secara sistematik. Doktrin atau teori hukum (legal theory) memegang peranan penting dalam membimbing hakim menyusun putusan yang berkualitas dan mampu mengakomodir tujuan hukum. Dus mendasarkan stelsel (sistem) pemidanaan dalam putusannya merupakan keniscayaan. D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan Sutorius dalam “Hukum Pidana” (2011) menyebutkan terdapat lima stelsel pemidanaan, yaitu:
  1. Stelsel absorpsi
Ada beberapa ketentuan pidana yang harus diterapkan dalam hal ini, yang paling berat saja yang diterapkan, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain tidak diperhatikan.
  1. Stelsel kumulasi murni atau stelsel penjumlahan murni.
Menurut stelsel ini, untuk setiap tindak pidana diancamkan/dikenakan sanksi masing-masing tanpa pengurangan. Jadi apabila seseorang melakukan 3 tindak pidana yang masing-masing ancaman pidananya maksimum 5 bulan, 4 bulan dan 3 bulan, maka jumlah kumulasi maksimum ancaman adalah 12 bulan.
  1. Stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan murni
Menurut stelsel ini, hanya maksimum ancaman pidana yang terberat yang dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau tidak sejenis) diserap oleh yang lebih tinggi. Penggunaan stelsel ini sudah dielakkan apabila salah satu tindak pidana di antaranya diancam dengan pidana yang tertinggi, misalnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum 20 tahun.
  1. Stelsel kumulasi terbatas
Stelsel ini dapat dikatakan sebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari stelsel kumulasi murni atau stelsel penjumlahan murni dan stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan murni. Artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing ancaman yang ditentukan pidananya akan tetapi dibatasi dengan suatu penambahan lamanya/jumlahnya yang ditentukan berbilang pecahan dari yang tertinggi. Misalnya 2 tindak pidana yang masing-masing diancam dengan maksimum 6 dan 4 tahun. Apabila ditentukan maksimum penambahan 1/3 (sepertiga) dari yang tertinggi, maka maksimum ancaman pidana untuk kedua tindak pidana tersebut adalah 6 tahun + 1/3 x 6 tahun= 8 tahun.
  1. Stelsel penyerapan dipertajam
Stelsel ini merupakan varian dari stelsel kumulasi terbatas. Menurut stelsel ini, tindak pidana yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan tetapi dipandang sebagai keadaan yang memberatkan bagi tindak pidana yang lebih berat ancaman pidananya. Penentuan maksimum pidana menurut stelsel ini hampir sama dengan stelsel kumulasi terbatas, yaitu pidana yang diancamkan terberat ditambah sepertiganya. Diskrepansi Putusan Dalam UU No. 7/2017 terdapat 77 perbuatan tindak pidana pemilu yang diatur di 66 pasal ketentuan pidana. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan pasal tindak pidana dalam UU No. 8/2012, dimana terdapat 56 tindak pidana Pemilu yang diatur di 48 pasal. Secara umum bentuk pemidanaan dalam pasal-pasal dalam UU No. 7/2017 terdiri dari pidana kurungan, pidana penjara dan denda. Damang Averroes Al Khawarizmi dalam “Prof. Topo Santoso dan Koreksi Tindak Pidana Pemilu Kita” (2020) menyebutkan menjadi penting untuk dipikirkan terkait stelsel ancaman pidana kepemiluan. Apakah stelsel ancaman pidana kumulatif (penjara dan denda) atau stelsel ancaman pidana alternatif (penjara atau denda) ataukah dengan stelsel ancaman pidana kumulatif alternatif (penjara dan/atau denda). Dalam UU No. 7/2017, penulis mencatat terdapat 18 pasal yang memberi ancaman pidana kurungan dan denda, serta 48 pasal memberi ancaman pidana penjara dan denda. Jika dikaitkan dengan stelsel pemidanaan, UU a quo menurut penulis memakai stelsel kumulasi. Karena bentuk pidana, baik pidana kurungan maupun pidana penjara selalu di hubungkan kata “dan” dengan ancaman denda. Lalu pertanyaannya, bagaimana praktiknya ?. Selama Pemilu 2019, Bawaslu Provinsi Jawa Barat merilis data terdapat 17 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dengan 21 orang terdakwa di Jawa Barat. Putusan pengadilan a quo terdiri dari 10 putusan pengadilan negeri dan 7 putusan pengadilan tinggi.  Dari 21 orang terdakwa tersebut, 18 orang diputus bersalah, 2 orang diputus lepas, dan 1 orang diputus bebas. Jika dikritisi dari beberapa putusan tersebut, penulis menilai terdapat diskrepansi (ketidaksesuaian) antara amar putusan majelis hakim dengan stelsel pemidanaan yang ada dalam rezim hukum pidana. Karena dalam beberapa dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu, seperti politik uang (vide pasal 523 UU No. 7/2017) putusan pengadilan justru menjatuhkan pidana penjara bersyarat padahal bertentangan dengan stelsel pemidanaan dalam UU No. 7/2017. Misal pada putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 331/Pid.B/2018/PN.Cjr (Pemilu), tanggal 20 Desember 2018. Pengadilan Negeri Cianjur memutus terdakwa bersalah melanggar pasal 523 ayat (1) UU No. 7/2017, dengan 5 amar putusan (dalam hal ini hanya 3 amar yang penulis kutip) yang pada pokoknya menyebutkan: (1). Terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemilu dalam dakwaan tunggal; (2) menjatuhkan pidana penjara 6 bulan dan denda sebesar Rp 5 juta rupiah, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan; dan (3) menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain. Putusan a quo jelas menunjukkan adanya diskrepansi amar putusannya jika ditinjau dari stelsel pemidanaan dalam pasal 523 ayat (1) UU No. 7/2017. Pasal a quo menyebutkan ancaman pidana secara kumulatif, yakni “pidana penjara dan denda,” tidak  menyebutkan pidana bersyarat. Untuk tindak pidana dengan stelsel pemidanaan yang bersifat kumulatif tidak dibenarkan menggunakan pidana penjara bersyarat. Selengkapnya pasal 523 ayat (1) UU No. 7/2017 menyebutkan: “(1) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24. 000. 000.00 (dua puluh empat juta rupiah).” Ketika menjalankan tugas pokoknya seorang hakim harus dianggap benar, walaupun das sein bisa saja keliru. Seandainya itu benar (quad non) putusan pengadilan itu dianggap keliru, maka para pencari keadilan diberikan ruang untuk melakukan koreksi melalui upaya hukum banding ke pengadilan tinggi, kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung RI. Namun putusan pengadilan maupun putusan lembaga kuasi peradilan (misal Bawaslu dan DKPP) yang sudah in kracht van gewijsde terbuka untuk dikritisi, misal dalam bentuk “eksaminasi putusan.” Selain itu kajian atas suatu putusan juga dapat mengembangkan studi literasi hukum. Sehingga menjadi “sesat pikir” (logical fallacy) jika aktifitas ini distigma sebagai perbuatan contempt of court. Adanya putusan-putusan pengadilan diluar mainstream sistem pemidanaan mungkin bentuk terobosan hakim dalam merespons kondisi psikologi hukum masyarakat. Karena pemilu sebagai pesta demokrasi seharusnya menggembirakan bukan “menyeramkan.” Tugas seorang hakim memang tidak ringan, karena dia dituntut bukan saja harus memahami secara diskursif ilmu hukum tapi juga aplikatif in casu membuat suatu putusan. Rezim pemilu di Indonesia memang kompleks, menjadi wajar jika para ahli mewacanakan penyederhanaan sistem pemilu dan “dekriminalisasi” proses pemilu. Sehingga wacana mengurangi pasal-pasal pidana dalam UU pemilu mungkin jalan baru bagi wajah pemilu kedepan. Selain itu, sebagian ahli juga mempermasalahkan kekaburan kualifikasi tindak pidana pelanggaran dan kejahatan pemilu dalam UU No. 7/2017.   Sanksi pidana pemilu sebagai ultimum remidium dirasa belum berdampak signifikan mencegah pelanggaran. Bahkan hasil survei Pusat Penelitian Politi LIPI, sebagaimana dikutip Firman Noor dalam “Demokrasi dan Oligarki” (2020) menunjukkan 46,7% masyarakat menganggap politik uang pada saat pemilu adalah sebuah kewajaran. Menurut penulis, if it doesn’t matter, maka tantangan tugas Bawaslu semakin kompleks. Wallahu’alam bissowab. [ ] ______________________________ *Anggota Bawaslu Kota Bogor (2018-2023).